Connect with us
Didi Kempot, Sobat Ambyar dan Narasi Kesetaraan
Photo: Dicky Bisinglasi/Cultura

Culture

Didi Kempot, Sobat Ambyar dan Narasi Kesetaraan

Dari Lord Didi, kita belajar banyak tentang keterbatasan manusia memeluk semua bahagia.

Dionisius Prasetyo atau Didi Kempot adalah seniman musik yang populer dilabeli dengan genre musik campursari dan langgam Jawa yang kental. Pelabelan ini tidak hadir serta merta, ia lahir dari sejarah panjang di jalanan, di panggung-panggung kecil, hingga di panggung besar yang hanya ada dia sebagai “The Godfather of Broken Heart”.

Didi Kempot konon telah menciptakan sekitar 700an lagu. Beberapa diantaranya adalah Cidro (1989), Wen-Cen-Yu (1980an), Stasiun Balapan (1999), Tulung (2002), Cucak Rowo (2003), dll.

Semuanya adalah lagu yang kembali akrab di telinga banyak orang, terutama di kalangan anak-anak muda, beberapa tahun belakangan ini. Tahun 2019 sendiri, bisa dibilang adalah tahunnya Didi Kempot.

Di tahun ini, ada lebih banyak orang yang benar-benar menikmati langgam Jawa tanpa perlu terlebih dahulu harus tahu artinya apa, ada banyak orang yang tidak sungkan meluapkan kesedihan dengan bernyanyi dan bejoget bersama Lord Didi, dan ada banyak orang yang dengan bangga menyebut diri mereka Sobat Ambyar.

Sobat Ambyar adalah sebutan untuk komunitas penggemar Lord Didi yang dibentuk oleh Solo Sad Bois Club pada 2019 yang lalu. Namun Sobat Ambyar lebih dari sekadar kumpulan penggemar penikmat lagu semata.

Didi Kempot Konser

Konser di Malang 2017 | Photo: Dicky Bisinglasi

Sad Boys (untuk penggemar laki-laki) dan Sad Girls (untuk penggemar perempuan) adalah akumulasi dari kesenangan mendengarkan harmoni dan kesamaan dalam rasa sedih, patah hati, marah, juga bahagia. Lebih spesifik, kesamaan ditinggal selingkuh, ditinggal menikah, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, meninggalkan karena terhalang restu orang tua, meninggalkan karena relasi ekonomi yang timpang menjelma menjadi kesamaan yang dijogeti di sini.

Baik Sad Boys maupun Sad Girls, keduanya didominasi oleh anak-anak muda. Mereka yang bisa jadi masa kecilnya telah diwarnai lagu Lord Didi lewat kaset radio ataupun CD. Mereka kemudian tumbuh besar dan menemukan lagu Lord Didi sangat mewakili kegetiran dalam menjadi dewasa.

Namun bisa jadi, di antara mereka juga adalah pendengar-pendengar baru yang menemukan Didi Kempot masa kini lewat kemajuan internet dan peliknya drama kehidupan. Keduanya sahih saja sebagai pendengar dan tentu penggemar.

Narasi Kesetaraan dalam Lirik Lagu Didi Kempot

Lord Didi sering bilang “patah hati rasah ditangisi, tapi nek perlu justru dijogeti” (patah hati tidak perlu ditangisi, tapi kalau perlu justru dijogeti saja). Dalam karyanya, Lord Didi tidak sedang berusaha menghilangkan atau bahkan mengingkari kesedihan, ia hanya sedang berupaya menularkan pandangan penting bahwa ada banyak cara untuk merespon kegetiran.

Tahun 2019, meme berisi potongan lirik lagu Lord Didi, juga video sad boys dan sad girls yang berlinang air mata di depan panggung sang maestro bertebaran di media sosial. Patah hati adalah bahasa universal yang pernah diresapi secara personal oleh siapapun, tanpa melihat gender dan kelas sosial. Kalaupun patah hati tidak diresapi dari hubungan percintaan lawan jenis, maka setidaknya ia bisa dirasakan dari karya-karya Lord Didi. Karya-karya Lord Didi adalah “patah hati” itu sendiri. Benar saja, di hadapan patah hati, kita semua sama, setara.

Tentang kesetaraan, artikel penelitian “Campursari ala Didi Kempot: Perempuan dan Laki-laki Jawa Mendobrak Patriarki” yang dimuat di Jurnal Ilmiah Scriptura Vol. I No.1 Januari 2007 menarik untuk disimak.

Di dalam Bahasa Jawa, terdapat beberapa dialek. Diantaranya adalah dialek nonpriyayi, dialek petani, dan dialek priyayi. Pada masing-masing dialek ini, terdapat beberapa variasi. Salah satunya adalah bahasa ngoko (ngoko lugu dan ngoko andhap/rendah). Didi Kempot di dalam karya-karyanya digambarkan sering kali menggunakan variasi bahasa ngoko ini.

Pada beberapa lagunya yang meminjam latar ruang publik dan variasi bahasa ngoko digunakan untuk menunjukkan gambaran sosio ekonomi masyarakat kelas bawah. Ia adalah laki-laki Jawa yang sedang berbicara dan menampilkan dirinya lewat lagu.

Didi Kempot

Malang, 3 Desember 2017 | Photo: Dicky Bisinglasi

Pada aspek lain yang saling berelasi, Lord Didi mencitrakan sisi melankolis seorang laki-laki Jawa dengan kata “kenangan”, “kelangan” (kehilangan), “netes eluh ning pipiku” (menetes air mata di pipiku). Jika pemberani, tidak boleh menangis, tidak boleh cengeng, dll dikonstruksi sebagai identitas laki-laki, maka lagu Stasiun Balapan berbicara sebaliknya.

Laki-laki yang ditinggalkan kekasih, laki-laki yang merindu, kemudian ia menangis dan menikmati rasa kehilangan itu adalah caranya untuk menunjukkan bahwa manusia bekerja melampui segala jenis konstruksi sosial.

Lantas, bagaimana “perempuan” dalam karya Lord Didi? Lagu “Nekat” menjawab ini. Lagu ini mencoba mendobrak pandangan mainstream tentang banyak karakter dasar perempuan Jawa. Biasanya perempuan digambarkan tidak suka konflik, setia, pasrah, dll. Oleh Lord Didi, yang ditampilkan justru adalah oposisi binernya.

Perempuan digambarkan berani bersikap, memiliki kendali penuh untuk mengambil keputusan dan menentukan sikap dalam hubungan percintaan. Di lagu ini, perempuan yang memutuskan untuk pergi, meski pada akhirnya kecewa, lalu menginginkan untuk kembali pada hubungan sebelumnya. Perempuan dipandang berdaya untuk tahu apa yang dia inginkan dan berupaya maksimal untuk meraihnya.

Lord Didi Pergi, Karya-karyanya Tinggal

Di tengah pandemi Covid-19, Lord Didi tak ketinggalan mengambil peran. Ia berkontribusi pada banyak acara amal. Di salah satu stasiun TV swasta, lewat konser amalnya, ia berhasil mengumpulkan donasi hingga 7 Milyar. Bahkan, ia masih sempat membuat lagu “Ojo Mudik” untuk menyebarkan pesan agar orang-orang tidak mudik dulu selama pandemi ini.

Hari ini, 5 Mei 2020, Lord Didi mencukupkan tugasnya selama 30 tahun malang melintang di dunia musik. Tugas untuk berbagi pada sesama, menghibur banyak orang, merayakan patah hati, memeluk kesedihan bersama Sobat Ambyar. Lord Didi boleh pergi, namun karya-karyanya tinggal. Akhirnya, tak ada yang benar-benar pergi bukan?

Dari Lord Didi, kita belajar banyak tentang keterbatasan manusia memeluk semua bahagia. Itulah kenapa rasa sedih, kecewa, patah hati juga tetap harus dirangkul agar kita paripurna. Keparipurnaan ini yang mengantarkan pada muara terbaik, keikhlasan. Kata Lord Didi, “patah hati boleh, asal jangan patah semangat”. Sugeng tindak Lord Didi.

Baca Juga: 

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect