Connect with us
Didi Kempot
Photo: Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

Music

Didi Kempot: Lebih Dari Sekadar Campursari dan Cidro

Bersama Didi Kempot, patah hati tak perlu ditutupi dan dipendam sendiri.

Beberapa tahun lalu, musik Campursari dan Koplo masih milik kalangan pinggiran. Musik pinggiran yang hanya didengarkan golongan-golongan tertentu saja. Anak-anak muda tentu saja tak akrab dengan lagu-lagu seperti “Cidro,” “Pamer Bojo,” dan lain-lain. Begitu pula dengan para musisi serta penyanyi di genre musik ini. Saat itu masih sangat jauh dari rengkuhan generasi muda.

Sulit menempatkan awal mula melambungnya musik campursari dan koplo. Walau penyebabnya sudah pasti: dari sang maestro itu sendiri, Didi Kempot! Bermula dari video viral yang memperlihatkan aksi panggung dari sang musisi legendaris saat membawakan hits “Cidro,” dengan para penonton yang asyik bernyanyi, berjoget, dan menangis bersama.

The Godfather of Broken Heart

Disusul dengan penampilan Didi Kempot di kanal YouTube milik Gofar Hilman, di acara #NGOBAM (Ngobrol Bareng Musisi) yang dilakukan offair untuk pertama kali di Solo. Nama sang musisi melambung. NGOBAM yang awalnya ditujukan hanya untuk 300 penonton, mencapai 1500 hadirin. Sedangkan tayangan videonya di YouTube sudah ditonton lebih dari 4 juta views.

Didi Kempot, membawa musik campursari dan koplo ke pasar anak muda; kepada para milenial yang lebih gemar pada musik R&B, pop, sampai rock. Mencapai para generasi Z yang saat ini gandrung pada K-pop. Bahkan Didi Kempot pun mendapat julukan ‘The Godfather of Broken Heart’ karena sejak berkarier di tahun 1989, terhitung sudah ada sekitar 800an lagu yang diciptakannya hampir semua bertema patah hati.

Menariknya, Didi Kempot bukan hanya sekadar hadir dengan lagu-lagu hits miliknya, yang tentu saja menjadi semakin populer. Popularitas dan masuknya musik campursari bukan hanya sekadar tentang “Cidro” yang mblanjeni janji. Tak juga hanya mengenai “Banyu Langit,” “Pamer Bojo,” atau pun “Kalung Emas” dan sederet lagu-lagu lainnya. Popularitas ini menghadirkan sebuah pandangan baru mengenai musik Indonesia. Membawa perbedaan manis, dan menyatukan para pendengar musik sebagai Sobat Ambyar: para sad bois dan sad girls.

Baca Juga: Didi Kempot, Sobat Ambyar dan Narasi Kesetaraan

Didi Kempot membawa beragam aspek dalam popularitasnya. Sang maestro menghadirkan musik tradisional asli Indonesia, campursari ke era modern. Campursari tak lagi dipadang sebagai genre pinggiran yang seakan ditujukan untuk golongan tertentu. Kehadiran Didi Kempot di NGOBAM seolah membuktikan bahwa campursari bisa dinikmati siapa saja. Terlebih setelah itu, sang maestro pun mulai manggung di berbagai acara yang lebih “milenial.” Sampai, di pentas pensi dan festival kampus!

Popularitas Lord Didi pun me-lumrahkan penggunaan lagu berbahasa Jawa. Terbukti sampai saat ini, entah tahu artinya atau pun tidak, para pendengar (dan sobat ambyar tentunya) tetap terbawa perasaan dengan setiap penampilan Didi Kempot.

Musisi yang meraih popularitas dengan “Stasiun Balapan” ini pun masih setia membawakan lagu-lagunya dengan bahasa Jawa. Tak ada keinginan untuk menerjemahkan lirik ke dalam bahasa Indonesia. Satu orisinalitas yang menekankan pentingnya bahasa daerah kepada generasi muda. Bahkan dari Didi Kempot dan sederet lagu-lagunya, bahasa daerah Jawa seperti cidro, eluh, dan lain-lain pun dikenal luas.

Terakhir, satu hal yang membuat popularitas Didi Kempot bukan sekadar “popularitas.” Seperti video viral yang memperlihatkan para penonton aksi panggung Didi Kempot yang menangis, meraung, dan joget bersama lantunan lagu tentang patah hati.

Didi Kempot pun membawa pelajaran bahwa patah hati tak perlu ditutupi. Tak perlu memendam perasaan sendiri atas luka yang dirasakan dalam hati. Sebaliknya, luapkan bersama-sama dalam nyanyian dan tarian. Lagu-lagu campursari koplo sang maestro pun tentu saja, kebanyakan bercerita mengenai patah hati. Sehingga sangat pas dengan pesan yang ingin disampaikan ini.

Bersama Didi Kempot, patah hati tak perlu dipendam sendiri. Bersama lantunan “Cidro,” “Kalung Emas,” atau “Stasiun Balapan,” luka di hati bisa tetap dijogeti. Jadi, sudah berapa kali mendengarkan “loro atiku, atiku keloro-loro” hari ini, sobat ambyar?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect