Connect with us
work from home di rumah aja
Photo via Pexels

Current Issue

Work From Home yang Bisa Bikin Burnout

Depresi karena kesepian dan merasa burnout akan dirasakan orang-orang selama pandemi.

WHO mengatakan burnout bukanlah kondisi medis meski menyatakan ini adalah fenomena pekerjaan yang memengaruhi kesehatan mental.

Burnout dapat didefinisikan dengan tiga hal yaitu merasa kehabisan energi, meningkatnya jarak mental seseorang terhadap pekerjaannya, dan perasaan negatif atau sinis terhadap pekerjaan yang dilakukan. Artinya seseorang dapat dikatakan burnout bila ia mulai merasa tertekan secara mental dengan mulai menghindari pekerjaannya. Sikap menghindari ini tak hanya sekadar malas tapi menumbuhkan rasa benci terhadap pekerjaan itu sendiri.

Ada pandangan yang menganggap burnout hanya dialami orang yang bekerja kantoran. Sebenarnya pandangan ini keliru. Orang yang bekerja dari rumah pun bisa mengalami burnout. Baik di lingkungan kerja maupun di rumah, masalah yang dialami tetap sama yaitu pekerjaannya. Ini bukan masalah lokasi. Bahkan jumlah orang yang mengalami burnout di kantor dengan di rumah pun memiliki jumlah tak jauh beda yakni masing-masing 64% dan 66%.

Mengapa orang yang bekerja di rumah pun merasakan burnout? Ternyata karena 52% dari mereka justru bekerja di jam yang lebih panjang. Atasan mereka menganggap dengan bekerja di rumah mereka justru lebih santai. Tidak perlu berdesakkan di dalam angkutan umum atau mempersiapkan penampilan rapi karena bisa bekerja di atas tempat tidur dengan laptop. Padahal beban kerjanya tetap sama. Laporan yang dikerjakan tetap menumpuk. Email dan conference call tetap berlangsung silih berganti.

Sebanyak 40% pekerja mengaku merasa ditekan untuk berkontribusi lebih. Mereka dianggap bekerja lebih nyaman di rumah sehingga tidak memiliki alasan untuk tidak bekerja lebih banyak.

Beberapa perusahaan di Indonesia juga mengharuskan karyawannya melaporkan pekerjaan mereka secara real time selama pemberlakuan work from home. Beberapa perusahaan lainnya memastikan karyawan benar-benar bekerja dengan mewajibkan conference call hanya untuk melihat kondisinya. Meski hal ini masuk akal, seseorang pun bisa merasa tertekan karena ada perasaan terus menerus diawasi.

Baca Juga: Menjaga Kewarasan Saat Harus Di Rumah Aja

Di sisi lain, tekanan yang dihadapi dalam pekerjaan belum tentu didukung keluarga. Bagi para single mungkin membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga tidak terjadi. Tapi bagi para lelaki maupun perempuan yang telah berkeluarga, WFH menjadi sesuatu yang menantang. Pasangan yang kurang kooperatif, anak yang membutuhkan perhatian, hingga rumah yang perlu dibersihkan membuat seseorang merasa kegiatannya terlalu banyak. Ia kehilangan personal space. Ditambah lagi para karyawan ini tidak bisa bertemu dengan teman-temannya untuk sekadar bersosialisasi.

Sayangnya kondisi ini sangat rentan terutama bagi perempuan. Bila pasangannya tidak kooperatif, ia memiliki beban pekerjaan berkali lipat. Misalnya yang biasanya menjadikan pergi ke kantor sebagai sebuah me time kini tidak mendapatkan hal tersebut. Ia harus di rumah mengurus pasangan dan anak. Ditambah lagi anak-anak yang mendapatkan jadwal e-learning mendorong para orangtua terlibat untuk membantu. Banyak sekolah memberikan tugas berupa praktik dalam bentuk video di mana orangtualah yang merekam dan mengirimkannya pada guru.

Belum lagi bila si perempuan harus membereskan rumah. Tentunya seluruh aktivitas yang seperti tanpa jeda ini akan membuatnya lebih mudah merasakan burnout. Namun bukan berarti ibu rumah tangga tidak mengalami hal yang sama. Banyak perempuan yang menjadikan waktu suami ke kantor dan anak ke sekolah sebagai waktu me time. Waktu ini hilang karena semua anggota keluarga harus terus berada di rumah.

Hal tersebut juga terjadi pada suami. Laki-laki pun dapat mengalami kendala yang sama. Bagaimana dengan para single? Masalah yang mereka hadapi adalah kesepian. Mereka merasa terisolasi di rumah karena tidak bertemu dengan kolega di tempat kerja. Apalagi bagi para lajang yang memang tidak tinggal dengan orangtua ataupun saudara. Rasa kesepian akan semakin membuat sesak karena di masa pandemi ini kita tidak bisa melarikan diri ke kedai kopi.

Penelitian lain menunjukkan dengan WFH, para kolega di kantor tidak merasa bersalah untuk mengirimkan email di luar jam kantor. Email-email tersebut menumpuk hingga malam bahkan dini hari dan membuat penerimanya merasa buruk. Walaupun si penerima tidak mengecek emailnya saat itu juga, ia akan menyadari kotak masuk yang penuh di pagi hari. Seakan pekerjaan selalu mengejar dan tak memberinya jeda.

Work From Home yang Bisa Bikin Burnout

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Ada beberapa dampak yang dapat dirasakan seseorang ketika mengalami burnout. Pertama, ia merasakan kelelahan dan stress. Ia juga mengalami kesulitan untuk tidur. Kadang, seseorang menjadi merasa lebih mudah sedih ataupun marah. Ini membuatnya tidak bisa menahan diri dan berkonflik dengan rekan kerja walaupun lewat chat atau video call. Selain itu seseorang tersebut menjadi mudah kecanduan alkohol ataupun obat-obatan sebagai pelampiasan dari rasa stres yang menghimpit.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari atau mengurangi perasaan burnout.

Pertama tentu saja dengan membatasi diri

Tetap bekerja hanya sesuai jam kerja di kantor dan menolak dengan halus bila rekan atau atasan terus mendorong kita untuk mengerjakan sesuatu. Kita juga perlu membatasi diri agar tidak “dipaksa” untuk dijangkau baik melalui telpon maupun email. Meletakkan ponsel hingga pagi hari dan fokus pada hal lain akan sangat membantu kita tidak stres.

Kedua adalah memiliki tempat tersendiri untuk bekerja dengan nyaman

Misalnya di kamar agar bisa menghindar dari anggota keluarga lain sehingga tidak berisik. Kalau perlu membuat setting yang nyaman seperti berada di kantor. Meja dan kursi harus dapat dipakai duduk dalam waktu yang lama sehingga tidak membuat sakit pinggang. Kalaupun lebih suka bekerja di atas kasur, perhatikan bahwa laptop bisa panas dan cepat rusak. Jangan lupa untuk tetap terhidrasi dengan baik. Makan dan minum sesuai jadwal makan siang juga dibutuhkan.

Ketiga, bila telah berkeluarga adalah meminta pengertian dari anggota keluarga lain

Mereka juga perlu memahami bahwa kita sedang bekerja sehingga tidak bisa membantu mereka mengerjakan hal lain. Kalau telah memiliki anak, beri anak pengertian bahwa ia memiliki waktu bermain dengan orangtuanya bila pekerjaan telah selesai. Buat perjanjian pada jam berapa pekerjaan itu akan selesai. Selain itu menjaga pola makan, olahraga, dan tidur cukup akan membantu kesehatan mental kita tetap terjaga.

Baca Juga: Apa yang Bisa Kita Petik dari Sebuah Pandemi?

Kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Karena itu berusaha menerima realita adalah salah satu cara terbaik untuk mempersiapkan mental dalam bekerja dari rumah. Merasa frustasi atau lelah adalah hal yang normal.

Segala hal yang kita alami saat ini bukanlah sesuatu yang kita harapkan dalam hidup. Bila hidup benar-benar terasa sulit, kita juga dapat menjangkau layanan kesehatan mental secara online. Ada banyak layanan yang memberikan potongan harga demi membantu orang-orang bertahan dalam pandemi.

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Luigi's Hot Pizza Luigi's Hot Pizza

Luigi’s Hot Pizza: Pizza Rave Pertama di Bali

Lifestyle

Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase

Memorable Stay Experience at The Apurva Kempinski Bali

Culture

byrd house bali byrd house bali

Byrd House Bali: Pengalaman Kuliner Sempurna Berpadu Dengan Suasana Eksotis

Lifestyle

Connect