Connect with us
sejarah manfaat pisang
Photo by Aleksandar Pasaric from Pexels

Culture

Bagaimana Pisang Menjadi Buah Terpopuler di Dunia?

Dulu pisang hanya seukuran jari manusia. Namun popularitasnya mampu melahirkan kudeta.

Pisang disebut-sebut sebagai buah pertama yang dibudidayakan di dunia. Diperkirakan pisang telah ada sejak sepuluh ribu tahun lalu. Pisang disebut-sebut berasal dari Asia Tenggara.

Katanya pisang pertama kali ada di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Papua Nugini. Para pedagang dan pengembara kemudian menyebarluaskan pisang ke belahan dunia lain terutama India dan Afrika. Salah satu manuskrip Buddha mencatat bagaimana orang-orang India yang datang ke Malaysia mencicipi pisang pertama kalinya. Mereka lalu membawa tanaman pisang untuk ditanam di negaranya.

Para pedagang dari tanah Arab menyebut pisang sebagai ‘Banan’. Di masa itu, pisang hanya seukuran jari manusia. Orang-orang di Guinea, Afrika Barat, menyebutnya sebagai ‘Banema’. Pisang mendapatkan nama latin ‘Musa acuminata’. Musa adalah nama orang Romawi yang berjasa dalam menanam pisang secara massal di Eropa.

Sumber lain mengatakan Bangsa Portugis lah yang mulai membudidayakan pisang di Eropa. Pisang belumlah dikenal sebagai buah yang bisa langsung dikonsumsi seperti saat ini. Dahulu pisang harus dimasak. Buah pisang pun berwarna merah dan hijau, bukan kuning seperti yang kita kenal.

Lalu muncul buah pisang mutan yang berwarna kuning. Buah ini diketahui manis dan dapat dikonsumsi tanpa dimasak. Orang yang pertama kali menemukannya adalah seorang petani Jamaica bernama Jean Francois Poujot. Sejak itulah ia memilih untuk membudidayakan pisang manis tersebut dan menjadi cikal bakal pisang saat ini.

Selain itu para petani Afrika berhasil menemukan pisang yang tidak berbiji setelah mengawinkan dua varietas yaitu Musa acuminata dan Musa baalbisiana. Pisang yang memang dikenal sebagai buah tropis mencapai puncak popularitasnya. Indonesia sebagai salah satu negara asal pisang merupakan penghasil keenam terbesar di dunia.

sejarah pisang

Photo by Ovidiu Creanga on Unsplash

Kita mengenal ratusan jenis varietas pisang di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri ada beragam jenis pisang dan ukuran. Tak hanya populer sebagai buah yang dikonsumsi mentah, kita juga mengenal beragam olahan pisang. Namun hal itu tidak berlaku di belahan dunia lain.

Di seluruh dunia, satu-satunya varietas pisang yang merajai pasar adalah Cavendish. Pisang Cavendish dibudidayakan di Inggris oleh seorang tukang kebun bernama Joseph Paxton. Tuannya adalah Duke of Devonshire, William Spencer Cavendish yang juga seorang bangsawan Inggris.

Pisang yang kita kenal kaya akan gula, vitamin, fiber, potasium, dan mangan. Selain itu pisang dikenal tinggi akan asam folat sehingga menjadi salah satu makanan wajib bagi ibu hamil. Namun popularitas pisang terutama di Amerika berasal dari harganya yang sangat murah.

Meski Amerika tidak memiliki perkebunan pisang yang luas sehingga mayoritas pasokannya berasal dari negara lain, Amerika mampu menekan harga pisang menjadi rendah. Begitu pentingnya pisang sampai-sampai Amerika melakukan kudeta terhadap Presiden Guatemala, Jacobo Árbenz.

Chiquita adalah nama perusahaan pertanian penghasil pisang terbesar di dunia. Chiquita uniknya bukanlah perusahaan dari lima besar negara penghasil pisang yaitu India, Brazil, Ekuador, China, dan Filipina. Ini adalah perusahaan Amerika.

Penduduk Amerika diketahui mengonsumsi tiga juta ton pisang per tahun. Popularitasnya menempatkan pisang di daftar keempat tanaman pangan yang paling bernilai setelah gandum, beras, dan susu. Hal itu mendorong pembudidayaan pisang secara besar-besaran. Chiquita pun membeli lahan seluas empat juta acre di Guatemala. Ini setara dengan tiga perempat total luas tanah garapan di negara itu.

Related Story: Avocado: Our Beloved Berries

Harga pisang yang murah salah satunya dikarenakan upah para buruh kebun pisang yang terlalu rendah. Meski pisang laku keras di pasaran, harganya yang terlalu murah tidak mampu menggantikan peluh yang menetes dari tubuh para buruh.

Árbenz pun mencalonkan diri sebagai presiden dengan salah satu misinya meningkatkan upah para buruh kebun pisang Chiquita. Usianya kala itu baru menginjak 38 tahun. Ia juga ingin menuntut pajak yang lebih tinggi pada Amerika. Tahun 1954, Presiden AS kala itu yaitu Dwight Eisenhower memutuskan melakukan kudeta yang dipimpin oleh CIA.

Kudeta itu berhasil. CIA kemudian memilihkan Guatemala presiden baru yang sesuai dengan kepentingan Amerika terhadap negara itu. Árbenz ditelanjangi dan dibawa ke Meksiko. Ia menghembuskan napas terakhirnya di negara tersebut.

Sementara itu Guatemala ditinggalkan dalam kondisi mengalami perang saudara yang berlangsung selama 36 tahun lamanya. Namun nampaknya karma akan datang pada Chiquita. Selama puluhan tahun, Penyakit Panama, jenis penyakit yang menyerang tanaman pisang, telah menghantui Cavendish. Sebagai satu-satunya varietas yang ditanam secara global ini artinya seluruh benih pisang tersebut identik. Bila seluruhnya tumbang akibat Penyakit Panama, krisis global terhadap pisang bisa terjadi.

Inilah salah satu keuntungan Indonesia karena memiliki varietas pisangnya sendiri. Kekayaan varietas yang kita miliki bisa saja mampu menggeser Cavendish di dunia. Saat ini yang perlu kita lakukan adalah mendorong konsumsi varietas pisang lokal dan menghindari varietas pisang impor.

Rekam jejak kelam Chiquita dan Amerika di balik industri pisang sebenarnya tak sekadar melakukan kudeta semata. Karena itu penting bagi kita untuk memerhatikan sumber makanan yang dikonsumsi dan membeli produk-produk yang dibudidayakan serta diperjualbelikan secara adil.

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1 Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Culture

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

Connect