Connect with us
"War Music" mengingatkan kembali pada perilisan puncak Refused 1998 yang berdasarkan keberanian dan penuh petualangan dalam ekspresi bermusik.
Photo via Theweereview.com

Music

Refused: War Music Album Review

War Music mengingatkan kembali pada perilisan puncak Refused 1998 yang berdasarkan keberanian.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Beberapa dekade telah berlalu sejak Refused mengeluarkan album ketiganya: The Shape of Punk. Refused dibubarkan hanya dalam hitungan bulan setelah perilisan album tersebut. Kemudian dilakukan antisipasi yang sangat tinggi dalam comeback Refused melalui album “Freedom” pada 2015.

Hardcore pun telah diubahnya dengan perpaduan antara punk, techno dan Jazz. Pada kenyataannya, arah musik underground Refused telah dipengaruhi hal-hal tersebut. Tapi terbukti bahwa Refused mampu memainkannya dengan cukup baik. Refused memanglah bukan pemuda seperti dulu. Tapi sekarang mereka mengejutkan siapapun dengan menghancurkan batas-batas terdahulu.

Refused: War Music

Refused – War Music

Mereka menggunakan esensi yang lebih percaya diri dan mapan daripada sebelumnya. Kini, album “War Music” telah menggandakan agresi, yaitu dengan tampilan radikalisme berapi-api yang tak bisa ditolak maupun disangkal. Album ini adalah salah satu contoh positif yang menghasilkan rock berkualitas dari era Donald Trump.

Ini juga menampik para saksi tentang banyaknya kematian genre rock sebagai musik protes. Seperti lagu pembuka berjudul ‘REV001’ yang memulai album sebagai penyembur bara api. Sorotan terdapat pada potongan-potongan jazz lama dimulai dari intro hingga perpaduan suara vocal yang terdengar biadab.

Sementara ‘Violent Reaction’ memiliki kualitas yang disampaikan dengan flamboyan khas Refused. Seperti ‘New Noise’ yang menjadi track menonjol yang nyaris sempurna pada album “Shape of Punk”. Kehebatan ‘Violent Reaction’ ini jelas memiliki arti politis seperti track berikutnya, ‘I Wanna Watch The World Burn’.

Ini sangat sesuai dengan pandangan sosial dari band yang condong ke kiri ini. Lagu ini telah menemukan daya tarik di antara ragam para pendengar musik keras sehingga mungkin terlihat reduktif. Tapi lagu I Wanna Watch The World Burn mungkin tampak klise dari nihilisme punk rock.

Hanya saja Refused memberitahu filosofi mendalam lagu tersebut melalui hentakan perkusi. Lagu ini menjadi lebih dari sekadar pernyataan yang menghebohkan karena berbicara tentang perlunya menyingkirkan masa lalu untuk bergerak maju ke masa depan.

Demikian pula dengan lagu progresif dari judul ‘The Infamous Left’. Konsepnya sangat mudah dari perubahan waktu menggemparkan melalui kerasnya ledakan melodi yang terakhir. Ini membuktikan bahwa kemampuan teknis band ini masih bisa muncul di semua tempat yang tepat.

Sementara hasrat Refused menuntut perang anti-otoriter juga kentara pada lagu ‘Blood Red’. Ratapan Dennis Lyxzen melalui liriknya semakin jelas. “Time for some militance/The fight will come down to us and them”. Ia jelas menolak kehilangan akar politik sayap kirinya.

Ini juga menggambarkan asal usulnya dalam musik hardcore DIY. Juga membuktikan bahwa band ini masih bekerja di beberapa alur yang liar. Seperti dukungan tindakan anarkis dan sosialis di dalam lagu ‘Blood Red’. Sementara bada kecemasan dan ketegangan ada dalam lagu ‘Malfire’.

Vokal dan melodi yang mengejutkan begitu menguasai alur lagu ‘Malfire’ dalam paduan suara eksplosif. Bagian reff sentral lagu ini juga mengingatkan pada musik bawah tanah era 80-an. Tapi seluruh getarannya terasa berjalan dengan suara-suara yang mapan.

Kemudian ketukan drum yang sinkron dari David Sandstrom pada lagu ‘Turn The Cross’ akan menyenangkan para pendengarnya. Seolah-olah jika bisa mendengarnya, maka kau adalah sebuah senjata. Lalu ‘Damaged III’ melambangkan keseimbangan komentar-komentar pedih tentang korupnya norma-norma gender.

Adapun permainan yang halus dari bass Magnus Flagge pada lagu ‘Death in Vannas’. Album ini kemudian ditutup oleh ‘Economy of Death’ yang menggabungkan drum dan bass layaknya death metal ala Swedia. Jika mencoba berimajinasi, Refused memainkan 10 lagu pada album ini dengan kekesalan, kekerasan dan amarah sehingga sebagian orang akan menyukai band ini.

Belum lagi bahwa beberapa lembar lirik di album “War Music” ini dibumbui kutipan dari orang-orang seperti Pussy Riot, Oscar Wilde dan lainnya karena suatu alasan. Refused memutarkan ketukan drum klasik dan kegilaan ide-idenya ke dalam “War Music”.

Selain sebagai terobosan, ini membuat album “War Music” terdengar begitu segar dan vital. Intinya, “War Music” adalah Refused. Entah itu mampu membentuk lagu menjadi punk atau tidak. Tapi album ini bisa menjadi pendengaran yang luar biasa bagi mereka yang sedih dengan sifat jinak punk rock era modern.

Band ini memang melakukan keanehan seni punk tersendiri. Sekarang mereka hanya ingin membuat kebisingan sebanyak mungkin meskipun bertentangan dengan kekuatan yang ada saat ini. Pada tahun rilisnya itulah “War Music” mengingatkan kembali pada perilisan puncak Refused 1998 yang berdasarkan keberanian dan penuh petualangan dalam ekspresi bermusik.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect