Connect with us
Pengaruh Asia Timur dalam Tren Makanan Kita: Ikut-ikutan atau Suka Beneran?

Culture

Pengaruh Asia Timur dalam Tren Kuliner di Indonesia

Kita dapat menemukannya di berbagai sudut kota. Seakan-akan makanan khas Indonesia.

Tidak hanya musik dan dramanya saja yang menghipnotis para fans dari Indonesia, makanan Korea pun ikut meraih popularitasnya akhir-akhir ini. Sebut saja, Tteok-bokki alias kue beras Korea yang dimakan dengan kuah pedas manis. Gimbap, Bibimbap, juga Kimchi pun tak kalah populer di sini. Penikmatnya tak terbatas usia, apalagi golongan ekonomi. Selain dijual di mall-mall, banyak pula yang menjualnya di warung kaki lima. Kalau perlu, kita bisa menikmatinya dengan soju alias minuman beralkohol khas Korea. Ada banyak distributornya dan kita bisa memesan secara online dengan sistem pre order. Haryani, seorang staff di perusahaan otomotif, mampu mengingat dan melafalkan dengan baik setiap jenis makan Korea maupun Jepang yang ada di Indonesia. Semua sudah ia cicipi dan menjadi favoritnya.

Sebelum makanan khas Korea menjamur, makanan khas Jepang sudah lebih dulu dikenal masyarakat Indonesia. Contohnya Sushi. Bahkan ada yang menjual satu porsi sushi dengan harga hanya 10 ribu saja meski kita tidak dapat berekspektasi pada rasanya. Kalau masih ingin makan sushi tapi dengan budget terbatas, harga 25 ribu pun sudah cukup enak. Salah satu penikmatnya adalah Lerick. Mahasiswa jurusan hukum ini mengaku awalnya tak suka sushi. Karena diajak sang pacar, lama-lama ia pun suka. “Suka makan di Ichiban,” ujarnya menyebut salah satu merek. Jangan lupakan menu lain seperti onigiri, takoyaki, okonomiyaki, dorayaki, taiyaki, dan masih banyak lagi yang menjamur. Saking kreatifnya orang Indonesia, kini banyak yang menjual Indomie onigiri. Doraemon patut “dipersalahkan” pula atas tren ini. Vira, seorang Indonesia keturunan Arab mengaku bahwa lidahnya cocok-cocok saja dengan makanan Jepang. “Asalkan halal,” ujarnya.

Sebenarnya, kenapa kita suka makanan dari Asia Timur? Kenapa tiba-tiba hampir semua mall di Jakarta disesaki penjual bubble tea dan gorengan khas Taiwan? Kenapa bahkan untuk minum miras saja kita harus pre order dari Korea? Bisa dibilang, kita memang mudah dipengaruhi. Hal-hal baru terlihat lebih asyik dan patut diminati. Apalagi bila cita rasanya memang tidak beda jauh dengan lidah orang Indonesia. Contohnya bubble tea alias boba tea. Walau tidak benar-benar serupa, kita punya minuman khas yang juga manis rasanya. Misalnya es cincau dan es cendol. Bedanya, bubble tea terbuat dari tepung tapioka sementara es cendol terbuat dari tepung beras. Selain itu inovasi yang dilakukan bubble tea jauh lebih banyak. Pilihan rasanya kekinian dan mampu memenuhi selera berbagai kalangan. Ironinya, jumlah pedagang bubble tea lebih banyak dibanding pedagang dawet. Di kampung-kampung pun bubble tea marak dijual dengan harga lima ribu saja. Salah satu franchise bubble tea asal Taiwan, Chatime, bisa dibilang adalah salah satu merek minuman favorit semua orang.

Shihlin yang menjual ayam tepung goreng pun sebenarnya sesuai juga dengan lidah kita. Masakan Indonesia yang berbahan dasar ayam sendiri sangat banyak. Ayam juga mudah didapatkan dan diolah. Kita familiar dengan itu. Seandainya kita tidak mengadopsinya dari Taiwan, dagangan macam ini pun bakal laku. Bahkan ketika ada yang menjualnya makanan serupa dan bukan franchise dari Taiwan langsung pun tetap laku. Zoma, seorang penyiar radio Islam mengaku menyukai merek Chib-chib Taiwan. Merek ini mulai populer di Jabodetabek. Lokasinya ada di ruko, bukan di mall-mall seperti Shihlin. Walaupun rasanya tidak benar-benar sama, penikmatnya tetap suka. Maklum, orang kita suka makan micin. Atikah, asal Bangka Belitung, mengaku suka semua makanan sejenis dari berbagai merek.

Ada di mana-mana

Selain faktor rasa, menjamurnya pedagang berbagai makanan dan minuman ini juga mendorong publik untuk mudah menerimanya. Gina, seorang staff di retail khusus produk kecantikan dan kesehatan mengaku ia sering ngidam makanan-makanan ini. Seakan makanan maupun minuman tersebut bukan lagi berasal dari luar negeri. Bila China punya fuyunghai dan kita punya telur dadar atau martabak telur, maka Jepang mengenalnya sebagai okonomiyaki. Baik sushi, takoyaki, maupun okominyaki sudah jauh lebih dulu populer. Sama hanya dengan fuyunghai yang bisa kita ditemukan di mana-mana. Pembuatannya juga tidak rumit. Kita bisa membuatnya sendiri di rumah. Lagipula siapa sih yang tidak suka telur?

Namun memang tak semua makanan atau minuman dari Asia Timur itu laku dan menjadi favorit banyak orang. Ada pula yang hanya sekadar mengikuti tren di luar lalu dibawa masuk ke Indonesia tapi ternyata tak banyak penikmatnya. Contohnya adalah long potato. Ketika ditanya, banyak yang mengatakan tidak suka. Kering kentang atau kentang balado yang dibuat ibu kita jauh lebih populer dibanding long potato. Hal ini mungkin karena kita lebih menyukai kentang yang utuh, bukan kentang yang dihaluskan dan dicampur dengan tepung. Walaupun banyak tukang masak di Instagram maupun Youtube yang membuat postingan mengenai cara pembuatan long potato pun makanan satu ini tidak ngetop-ngetop amat dibanding makanan asal Taiwan lainnya. Indonesia lebih mencintai french fries.

Terakhir adalah faktor tren dunia yang ikut memengaruhi tren makanan di Indonesia. Dulu, tren makanan berkiblat ke Eropa. Sekarang, orang-orang sudah bosan dan mulai menengok makanan Asia yang dianggap lebih kaya rasa. Bahkan tren makanan fusion pun menjamur. Kini kita mengenal sushi pizza atau sushi burger. Walau belum terjangkau semua kelas ekonomi dan dijual di mana-mana, tak menutup kemungkinan suatu saat makanan ini akan kita temukan di pinggir jalan. Namun tren dapat berganti selayaknya musim. Bisa saja trennya akan berubah lagi.

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1 Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Culture

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

Connect