Connect with us
Museum Musik Indonesia Malang
Hengki Herwanto - Ketua MMI | Photo: Dicky/Cultura

Music

Museum Musik Indonesia dan Dominasi Rock di Malang

Sebuah pengalaman berbeda mengunjungi Museum Musik Indonesia di Kota Malang.

Sebelumnya saya berkunjung ke Toko Rekam Jaya membahas Skena Musik Malang. Generasi dan lini waktu mulai fase akhir 90-an hingga sekarang. Meskipun sama-sama soal musik dan Malang, namun berbeda. Museum Musik Indonesia (MMI) adalah wajah musik Malang yang lain.

Perbedaan mendasar cukup filosofis. Konsep idealisme yang diceritakan Toko Rekam Jaya tidak menjadikan musisi besar, go nasional atau bahkan internasional sebagai patokan. Namun bagaimana menikmati dan mengekspresikan diri terhadap musik itu sendiri. Sementara idealisme yang diceritakan MMI adalah sebaliknya.

Generasi orang-orang MMI saat ini berusia setidaknya 45 tahun keatas. Energinya tidak se-rebel orang-orang di Toko Rekam Jaya. Orang-orang MMI mungkin juga rebel pada zamannya. Namun energi yang terasa saat ini adalah atmosfer romantisme kejayaan masa lalu.

Museum Musik Indonesia lebih banyak berbicara tentang koleksi karya rekam fisik dan dominasi label-label major yang berjaya pada masanya, masa keemasan rock. MMI tak lepas dari predikat Malang sebagai barometer musik rock pada era 70 hingga 90-an.

Hengki Herwanto, Ketua MMI, mengisahkan bahwa semuanya dimulai dari era 70-an. Saat itu Malang dikenal sebagai “Kota Ujian” bagi berbagai group-group besar musik nasional. “Penonton musik Malang kritis dan apresiatif. Kalau bagus tepuk tangan, tapi kalau kurang bagus ya dilempar batu” cerita Hengki serius.

Skena musik Malang era 60-an bertempat di Gedung Kesenian Gajayana yang menjadi lokasi MMI saat ini. Tahun 70-an bergeser ke Gedung Tenun, milik salah satu pabrik rokok di jalan Tenun Kota Malang, sementara tahun 80-an berada di GOR Pulosari.

Musem Musik Indonesia Malang

Galeri Malang Bernyanyi – Musisi Malang | Photo: Dicky/Cultura

Saat itu skena Malang Raya juga berhasil mencetak nama-nama besar musik rock di panggung major label nasional. Beberapa masih melegenda hingga saat ini. Sebut saja Ian Antono sang Dewa Gitar God Bless, Abadi Soesman (Guruh Gipsy, The Eternals, Jack Lesmana, God Bless), Totok Tewel legenda gitar Elpamas, soloist Laily Dimyati dan Silvia Saartje, Mickey Markelbach dan Band Bentoel, Bram Moersas, kakak-beradik Yuni Shara – Krisdayanti, penyanyi jazz Syaharani, band Flanella, Putih hingga era Mey Chan Duo Maya.

Mickey Markelbach dan Sylvia Saartje adalah dua orang dengan darah campuran Eropa. Malang-Jerman pada Mickey, dan Maluku-Belanda pada Sylvia. Keduanya besar dari skena musik major di Malang saat itu hingga ke kancah nasional.

Musisi-musisi Malang yang merambah kancah nasional memang tidak cukup banyak jika dibanding kota lain seperti Surabaya, Bandung, Jogja, atau bahkan Jakarta. Namun kekritisan masyarakat musik Malang saat itu yang menjadikan nama Kota Malang dikenal di skena musik nasional.

Baca Juga: Memahami Batasan-batasan Musik Folk dan Perkembangannya di Indonesia

Musisi Malang di Kancah Internasional

Saat ini musisi Malang bisa dibilang kurang berkibar di kancah nasional. Hengki tidak memahami sebabnya. Namun, menurut Hengki ada sebagian kecil yang malah sukses di kancah internasional. Mereka lebih banyak mengandalkan komunitas-komunitas musik, lembaga kesenian dan jaringan universitas dalam perjuangannya.

Salah satunya adalah Nova Ruth. Sebelumnya ia banyak dikenal di genre hip-hop dengan project-projectnya bersama Twin Sista. Tahun 2003 sempat beralih ke akustik-balad dengan bendera Mimin Mintuno, meskipun hip-hop tetap kental dalam darahnya. Sven Simulacrum, Unkle Ho dan Filastine adalah partner kolaborasinya Nova Ruth yang lain.

Grey Filastine, adalah pria Spanyol yang dalam situs seattleglobalist.com disebut sebagai “musisi aktivis anti kapitalis dan noisemaker”. Ia adalah partner Nova di Filastine, sekaligus pria yang akhirnya dinikahinya. Tahun 2012 mereka merilis single bernuansa kritis dan minor dengan video clip berlatar belakang Lumpur Lapindo, TPA Bantar Gebang Bekasi dan beberapa scene-scene muram seperti kemacetan dan penambang pasir sungai.

Single bertajuk Colony Collapse ini kental dengan vocal ethnic melodic Jawa-nya Nova Ruth, dipadu dengan musik perpaduan eksperimen gamelan Jawa dan dub kontemporer yang cenderung elektronis. Corak tribal etnis Jawa ini terus berlanjut dalam karya FIlastine yang lain sampai sekarang. Putri gitaris Totok Tewel ini sekarang berdomisili di Spanyol. “Dalam setahun Nova Ruth bisa tampil di 50 tempat berbagai negara di 5 benua.” tambah Hengki.

MMI Malang

Discography Internasional | Photo: Dicky/Cultura

Nama lain adalah Wukir Suryadi. Ia mendunia dengan instrumen berbasis chordophone berbahan bambu bernama Bambu Wukir, kreasinya sendiri. Wukir adalah musisi dengan latar belakang seni teater. Pria kelahiran 1977 ini tertarik dengan musik instrumental kontemporer dan eksperimental. Karakter bermusiknya merupakan pengaruh dari tradisional, avant-garde hingga death metal.

Saat ini Wukir memilih tinggal di Yogyakarta. Ia tercatat pernah tergabung dengan beberapa project bernama Mahayawa bersama Kazuhisa Uchihashi (Jepang), dan Senyawa bersama Rully Shabara. Senyawa yang kental dengan repertoar ethnic eksperimental, terus eksis hingga sekarang. Dalam single berjudul Tanah (2015), komposisi-komposisi duo Senyawa terdengar sangat etnis-orientalis. Petikan dawai Bambu Wukirnya bersuara bak nuansa sitar China. Ditambah dengan vocal growling dan screaming ala hardcore Rully Sabhara yang sangat neo-tribal, ekspresif bak teriakan khas suku pedalaman.

Wukir Suryadi tercatat pernah berkolaborasi dengan nama nama seperti I Wayan Sadra, Leo Kristi, Arahmaiani, Melati Suryodarmo, Keiji Haino, Kazuhisa Uchihashi, Damo Suzuki, Rabih Beaini. Bersama Senyawa, mereka telah manggung di banyak negara seperti Jerman, Inggris, Jepang, Belgia hingga Amerika Serikat.

Musem Musik Indonesia Malang

Hengki Herwanto – Ketua MMI | Photo: Dicky/Cultura

Menyambung soal bakat-bakat muda Malang yang sempat unjuk gigi di luar negeri, Hengki Herwanto menyebutkan sejumlah nama seperti veteran band punk-rock Malang, Begundal Lowokwaru. Band yang sering disebut dengan inisial “BL” ini menggelar South East Asia Tour bertajuk “Sodara Sebotol 2018” di beberapa kota di Asia Tenggara. Seperti Singapura, Johor Bahru, Batu Pahat, Malaka, Penang dan Kuala Lumpur (Malaysia), serta Bangkok dan Chiangmai (Thailand). Tajuk Sodara Sebotol diambil dari salah satu single legendaris mereka berjudul yang sama dari album Street Drunk Rock tahun rilisan tahun 2000.

Baca Juga: Keroncong, Musik Asli Indonesia Dengan Segala Perkembangannya

Generasi 2000-an

Di lini waktu generasi yang lain, duo folkrock Wake Up, Iris! berhasil manggung sekaligus membuat rekaman vinyl di South by South-West (SXSW) tahun 2018. Festival berusia lebih dari 30 tahun tersebut digelar di Austin, Texas, Amerika Serikat. Mereka juga menembus Seoul Music City Connection dan Zandari Festa Musik Showcase Festival di Seoul, Korea Selatan di tahun yang sama.

Sementara generasi pioneer skinhead yang masih eksis hingga sekarang, No Man’s Land, tetap menjadi langganan label besar Eropa dan Amerika. No Man’s Land lekat dengan perpaduan fashion Harrington, Ben Sherman, Fred Perry, Lonsdale, Dr. Marten dan kepala botak khas England Culture. Irama Oi! nya berhasil membius label- label sekelas Oi! Shop dan ein Fleisch Produkt (Jerman), Aggrobeat (Belanda), Rusty Knife Records, FFC Productions dan Has Been Metal (Perancis). Tahun 1998 saja, album split-tape mereka dengan band Malaysia – Karratz berhasil tersebar hingga Australia dan Perancis. Yang terbaru, Desember 2019 lalu, album mereka “True to Myself” terpilih menjadi album terbaik tahun 2017, rekap selama 10 tahun mulai tahun 2010 hingga 2019 versi Punk-Rockers Radio, Jerman.

Di kancah nasional, beberapa nama “Arek Malang” (anak asal Malang – Bahasa Jawa Malangan) yang cukup dikenal publik dalam negeri diantaranya adalah Audiensi Big Band. Big band yang lahir di Jakarta tahun 1989 ini seringkali mengiringi berbagai acara konser-konser orchestra besar di stasiun televisi nasional. Pimpinannya, Dony Hardono dan mayoritas personel nya adalah Arek-Arek Malang dari Kampung Mergan, Sukun.

Musem Musik Indonesia Malang

Koleksi Piringan Hitam MMI | Photo: Dicky/Cultura

Cita Rasa Rock

Menurut Hengki, meskipun situasi skena saat ini sudah lintas genre dan lebih terbuka terhadap perkembangan zaman, namun Malang dinilai masih punya cita rasa rock. “Kalau dulu masih rock tradisional seperti hard rock, rock klasik dan progresif. Namun saat ini sudah banyak segala jenis-jenis metal, punk dan core yang bermunculan.” ungkap Hengki.

Arek-arek musik Malang dikenal mudah beradaptasi dan mau berkompromi dengan lingkungan musisi di sekitarnya. “Ian Antono saja tercatat di MMI sebagai musisi dengan jumlah kolaborasi terbanyak. Selain dengan God Bless juga dengan Gong 2000, ia mengiringi dan menciptakan lagu untuk Mel Shandy, Nicky Astria, Sylvia Saartje. Bahkan Ian mengaransemen lagu untuk Ebiet G. Ade, Leo Kristi dan Franky Sahilatua yang berbeda genre.” tambah Hengki.

Nama gitaris yang dinilai layak sebagai penerus kejayaan Ian Antono dan Totok Tewel saat ini adalah Noldy Benyamin Pamungkas. Nama Noldy besar lewat genre rock dan pernah mendalami ilmu gitarnya di Jerman. Ia tercatat pernah masuk dalam lineup Erwin Gutawa Orchestra, Twilight Orchestra-nya Adi MS, Magenta Orchenstra-nya Andi Rianto, Dian HP Band, Purwacaraka, dan sederetan nama besar orkestra tanah air. Noldy juga banyak dipercaya mengisi komposisi gitar dalam rekaman dan konser sejumlah musisi nasional seperti Chrisye, Glenn Fredly, 3 Diva, Tohpati, hingga eyang Titiek Puspa.

Hengki menambahkan masyarakat musik Malang juga masih aktif hingga kini. “Di Malang ada Musik Malang Bersatu (MMB), di sana rock juga masih mendominasi” tutur Hengki. Malang Musik Bersatu seringkali menggelar kolaborasi masif untuk peringatan hari jadi Kota Malang. Misalkan 101 Gitaris dan 102 drum dan perkusi, 103 keyboard, 104 sound system. Semuanya untuk ulang tahun Kota Malang di angka yang sama setiap tahunnya.

Museum Musik Malang

Koleksi Lengkap MMI | Photo: Dicky/Cultura

Satu-satunya Museum Musik di Indonesia

Museum Musik Indonesia (MMI) hingga saat ini tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya museum seni musik di Indonesia. Berawal dari Komunitas Pecinta Kajoetangan (KaPeKa) pada tahun 70-an, sebuah kumpulan yang concern pada karya musik, khususnya koleksi rekam fisik musik Malang dan Indonesia pada umumnya.

Tahun 2009 mereka bertransformasi menjadi Galeri Malang Bernyanyi (GMB), bertempat di garasi rumah berukuran 3×5 meter milik orang tua Hengki Herwanto, inisiator sekaligus ketua MMI, di perumahan Griya Shanta Kota Malang. Saat itu GMB menjadi jujukan musisi-musisi lintas generasi untuk berkumpul, berbagi ilmu, cerita dan berbagi pengalaman. Kemudian pemerintah Kota Malang menghadiahkan sebuah ruangan di lantai dua Gedung Kesenian Gajayana pada tahun 2015 yang bertahan hingga saat ini.

Koleksi Kaset Pita Per Daerah di Indonesia

Koleksi Kaset Pita Per Daerah di Indonesia

Untuk ruangan yang tidak cukup luas, MMI memiliki lebih dari 35.000 total koleksi menurut data inventaris mereka per Desember 2019. Ini merupakan jumlah yang cukup fantastis! Angka tersebut tidak cuma karya rekaman musik fisik, namun termasuk partiture musik, majalah dan buku-buku.

Di dalam MMI terdapat sebuah ruangan berisi alat-alat musik dan pakaian artis dan musisi. Kebanyakan alat musik didapat dari hibah para artis. Dari ajang Rakernas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) tahun 2018 di Kota Malang, saat itu Walikota Malang mewajibkan semua peserta APEKSI menyumbangkan berbagai alat musik tradisional daerah mereka masing-masing untuk disumbangkan ke MMI. Ada Sapek alat musik petik khas Kalimantan, Angklung dari Bandung hingga genderang Djembe Papua.

Saat ini pengunjung MMI kebanyakan adalah para mahasiswa sehubungan dengan banyaknya kampus universitas di Kota Malang. Mereka datang untuk keperluan studi penelitian dan edukasi.

Mengingat koleksi yang semakin bertambah banyak, MMI berharap punya tempat yang lebih luas dan memadai. Kedepannya MMI tak menutup diri akan berbagai kemungkinan seperti memiliki koleksi patung-patung musisi Indonesia atau inovasi-inovasi lainnya.

Artikel Terkait Lainnya: Bagaimana Industri Musik di Jepang Bertahan dengan Konservatisme?

Thanks to narasumber:
Bapak Hengky Herwanto – Inisiator & Ketua MMI

Museum Musik Indonesia
Jl. Nusakambangan No.19, Kasin, Kec. Klojen, Kota Malang
Instagram: @museummusikindonesia

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect