Connect with us
love for sale 2 review
Visinema

Film

Love for Sale 2 Review

Arini kembali untuk membuat kita patah hati.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Arini mungkin adalah salah satu karakter paling ikonik dalam sejarah film romance produksi dalam negeri selain Dilan, Cinta, dan Rangga. Akting Della Dartyan memang tiada duanya. Siapa sih yang tidak merasakan jatuh cinta padanya? Sekali tersenyum, Della mampu membius tak hanya Gading dan Adipati tetapi juga kita semua. Bahkan bisa jadi film ini dibuat bukan untuk menceritakan kehidupan Richard Achmad dan Indra Tauhid. Kita justru lebih ingin tahu kehidupan seorang Arini Chaniago yang penuh misteri.

Sedikit menengok ke belakang, awalnya Love for Sale yang pertama meledak di pasaran karena dianggap menyuguhkan adegan yang berani. Selain itu, Love for Sale juga mengangkat topik yang dekat dengan realitas kita. Olokan-olokan masyarakat terhadap orang yang belum menikah di atas kepala tiga sudah menjadi budaya turun temurun. Meski menikah sendiri adalah pilihan yang menjalani, sayangnya banyak dari kita malah menekan orang yang belum melakoninya. Bahkan ada banyak sekali candaan bahwa status lajang atau taken merupakan salah satu pertanyaan terpopuler di acara keluarga dan hari raya.

Saat itu Gading Marten dan Della Dartyan didapuk menjadi pemeran utama. Gading sebenarnya lebih terkenal ketika bermain sinetron maupun menjadi host di layar kaca. Bisa dibilang Love for Sale adalah filmnya yang paling ternama. Gading bahkan mampu meraih piala Festival Film Indonesia 2018 sebagai pemeran utama pria terbaik. Begitu pula dengan Della yang banyak mendapatkan nominasi akibat perannya dalam Love for Sale. Padahal itu adalah debutnya sebagai aktris. Luar biasa, bukan?

Pada Love for Sale 2, Della kembali memerankan karakter Arini. Tak hanya cantik dan cerdas, ia juga sangat berkharisma. Kharismanya inilah yang menjadi nilai jual utama Arini dalam melakoni pekerjaannya sebagai pacar sewaan. Profesi ini bukan hanya sekadar buatansang sutradara, Andi Bachiar Yusuf semata. Ini adalah profesi yang benar-benar ada tak hanya di Indonesia tapi juga berbagai negara. Arini Chaniago disewa selama 45 hari oleh seorang lelaki yang belum menikah di usia 32 tahun, Indra “Ican” Tauhid. Ia adalah putra kedua dari Bu Ros, seorang Minang tulen.

Bu Ros dikisahkan sebagai perempuan konservatif. Ia tak pernah kehabisan cara dalam menceramahi ketiga putranya. Si sulung dianggap salah memilih istri. Ican dianggap salah memilih profesi sekaligus dikritik karena tak juga menikah. Sementara si bungsu dikritik karena tak mampu memertahankan pernikahan. Bu Ros yang paham agama seringkali berdoa agar anak lelakinya tak mendekati zina. Padahal Ican adalah seorang fuckboy dan tak begitu ingin menikah karena bingung mencari yang sesuai.

Arini disewa untuk menenangkan hati Bu Ros. Seperti yang sudah kita duga dari Love for Sale 1, Arini kembali membuat kita patah hati. Setiap gesturnya konsisten sekali. Ia terus membuat semua orang di sekitarnya senang. Arini mungkin hanya pacar sewaan. Tapi totalitasnya tak perlu kita pertanyakan. Apa saja ia lakukan untuk orang yang menyewanya. Memasak pagi-pagi? Mencuci piring tamu? Mendengarkan keluh-kesah Bu Ros? Semua ia lakukan dengan sempurna. Sampai kita mungkin akan mengelus dada karena Arini seakan bekerja sebagai customer service selama 24 jam sehari.

Kalau mengkritisi dari segi akting maka bisa dibilang Della tak ada kurangnya. Membuat kita haru? Sudah pasti bisa. Membuat kita tersipu? Sudah jelas iya. Pokoknya Arini adalah tipe yang disukai oleh siapa saja. Sebaliknya Ican yang diperankan oleh Adipati Dolken sayangnya terasa biasa saja. Kita tak dibuat bersimpat seperti ketika melihat Gading alias Richard. Chemistry-nya pun terasa kurang. Entah apa benar Ican begitu mencintai Arini atau hanya terbawa suasana saja. Begitu pula scene-scene yang menggambarkan perkembangan perasaan mereka kurang mampu menonjolkan hal tersebut.

Bisa dibilang Della dan Gading masih di atas angin dibanding Della dan Adipati. Dari segi plot pun Love for Sale 1 jauh lebih rapi. Ia tidak tiba-tiba melambat atau tiba-tiba cepat. Ada sebab akibat dari kejadian yang dijelaskan dengan smooth dan baik. Sayangnya Love for Sale 2 lambat di awal dan mendadak ngebut di akhir. Mungkin kita akan terkejut dan mengerutkan kening, “Kok udahan?” Tapi tenang. Soal plot twist, Love for Sale memang jagonya. Nampaknya ini adalah clue Arini akan kembali dalam Love for Sale 3. Namun bila tidak, kita sudah cukup puas dibutakan oleh cinta pada Arini.

Walau skenario tetap berusaha difokuskan pada Ican, tetap saja performa Arini mendominasi. Kalaupun ada pemeran pendukung yang ditambahkan untuk menghangatkan cerita tetap saja mereka kurang bersinar. Tentu saja ini bukan salah Della. Ia hanya berakting terlalu bagus. Sebaliknya ada scene yang seharusnya dikurangi atau justru ditambahkan. Atau bahkan mungkin sama sekali tak perlu mengingat kaitannya dengan plot utama terasa sia-sia. Meski demikian kehadiran cameo cukup menarik juga.

Kritikan lain perlu dimunculkan tak hanya pada Love for Sale 2 tetapi juga industri perfilman kita secara keseluruhan. Kita sering sekali mengangkat unsur kebudayaan tertentu sebagai setting film tetapi sayangnya yang kita tampilkan malah stereotipnya. Kebudayaan Minang di film ini penuh stereotip. Semisal mengenai Bu Ros yang ngotot menantunya harus orang Minang juga. Begitu pula gambaran pengenai menantu ideal adalah menantu yang diperlakukan seperti pembantu. Padahal tak semua mertua apalagi mertua Minang bersikap seperti itu. Seharusnya sineas kita bisa lebih kreatif agar stereotip yang itu-itu saja tak selalu dimunculkan.

Logat Minang dan Makassar yang ditampilkan pun kurang kental. Namun kita harus bertepuk tangan pada soundtrack, setting, dan sinematografinya. Seperti biasa musik digarap oleh McAnderson. Kerja kerasnya terbukti menghasilkan olahan musik yang mampu membuat hati kita pecah meski para aktris dan aktornya tak mengeluarkan air mata. McAnderson patut diberi apresiasi setingg-tingginya selain akting memukai Della, skenario, dan sutradaranya.

Setting dan sinematografinya pun mampu menggambarkan potret ibu kota yang alami. Ini persis seperti ketika kita menonton A Copy of My Mind, Love for Sale 1, atau beberapa scene awal di Perempuan Tanah Jahanam. Ibu kota tak selalu digambarkan dengan gemerlap. Tetapi juga dengan rumah tetangga yang berdempetan tembok, para lelaki yang sibuk bermain gaplek, atau para ibu yang mencomot habis hidangan di rumah orang ketika pengajian. Ini adalah gambaran Indonesia yang seharusnya banyak kita tampilkan karena tak dibuat-buat. Secara garis besar, Love for Sale 2 telah berhasil mengaduk-aduk perasaan kita seperti biasa ketika melihat Arini dan Richard di Love for Sale 1.

Love for Sale 2 Spoiler Review: Menyoal Masyarakat dan Pernikahan

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect