Connect with us
Aditya H. Martodihardjo

Culture

Interview: Aditya Martodiharjo dan Analog di Era Digital

Produksi kamera mengalami penurunan sejak 2010, tetapi Aditya malah membuka usaha cuci foto dan film sejak 2017.

Nampaknya kecanggihan kamera ponsel sendiri sedikit demi sedikit menggerus industri kamera. Sejak 2010 bisa dibilang produksi kamera mengalami penurunan. Meski produksi kamera sempat naik pada 2017 menjadi angka 25 juta buah dibanding 23 juta buah pada 2016, dan pada 2018 jumlah kamera yang diproduksi merosot hanya 19 juta buah. Angka ini hanya angka kamera digital. Bagaimana dengan kamera analog? Pengguna kamera analog sendiri jauh lebih sedikit. Kamera analog dianggap repot dan butuh waktu untuk melihat hasil fotonya.

Aditya H. Martodihardjo

Aditya di IFI Jakarta, 29 Juni 2018

Tetapi ada juga yang justru menyukai kerepotan yang dihasilkan dari kamera analog. Dia adalah Aditya Hasanuddin Martodihardjo, pemilik Binatu Cahaya Mandiri. Ia menyediakan jasa cuci dan scan film analog (seluloid). Sebenarnya Aditya telah lama mengenal kamera analog dan sempat bosan. Dulu ia berpikir tak menemukan keseruan dari kamera analog dan rasanya sama saja seperti memotret pada umumnya. Beberapa tahun kemudian Adit kembali menggeluti dunia kamera analog dan seluloid setelah bertemu dengan Lab Laba-laba.

Tidak banyak orang familiar dengan kata seluloid kecuali bagi para peminat film dan fotografi. Film seluloid adalah film yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi dan dipertunjukkan dengan sistem proyeksi. Penggunaan pita film seluloid untuk syuting atau memutar film sudah sangat jarang saat ini. Sejak film bisa direkam dan dimainkan dari pelat data digital, pita film seluloid sebagai cikal bakal perekam gerak pun telah dilupakan. Pada dasarnya, film seluloid memiliki sejarah yang besar dalam merekam perkembangan peradaban manusia. Layaknya terobosan dalam bidang percetakan dan fotografi, penemuan seluloid berujung pada kelahiran industri film.

IFI Bandung, 04 Juli 2018

IFI Bandung, 04 Juli 2018

Adit kembali intens pada seluloid mulai 2015, saat bekerja sebagai periset sejarah dan aktif di Lab Laba-Laba sehingga visinya dalam ranah merekam pun juga turut berkembang. Ia menemukan sensasi saat berada di kamar gelap. Adit terpukau pada sensibilitas seluloid yang lebih organik, proses yang jauh lebih panjang sehingga lebih punya nilai tambah. Ketekunannya berbuah residensi selama 20 hari di Paris, dalam forum Film Lab Meeting yang mempertemukannya dengan 160 orang dari belahan dunia yang juga menekuni ranah seluloid. Berikut ini adalah wawancara Cultura dengan Aditya seputar analog dan Binatu Cahaya Mandiri.

Aditya H. Martodihardjo

Aditya H. Martodihardjo

Sebenarnya analog itu apa?

Simpel aja sih, analog tuh format fisik yang dipakai buat ngerekam gambar, foto atau film. Mungkin kita biasanya tau dengan istilah klise.

Kenapa menggeluti analog, kenapa bukan digital?

Karena saya senang dengan proses analog yang tidak tiba-tiba, ada unsur kejutan di setiap hasilnya.

Lalu awalnya apa yang membuat Mas Adit memutuskan membuka Binatu Cahaya Mandiri?

Setelah beberapa tahun berkegiatan di kamar gelap, saya melihat ada keingintahuan yang cukup besar dari orang-orang terhadap format super8 dan 16mm, tapi sayangnya secara akses dan ekosistem di Indonesia mungkin benar-benar tidak ada yang memfasilitasi, itu awalnya saya berpikir untuk memula BCM.

Namanya unik. Idenya datang dari mana?

Meminjam istilah temen-temen yang biasa moto analog, setelah moto mereka nyuci, dan sebenernya secara kegiatan “mencuci” memang seperti nyuci baju, perlu dicampur dengan kimia tertentu, dikeringkan, terus digosok (scan atau pindah format dalam kasus ini). Dari situ kepikiran buat namain jasa cuci saya seperti halnya jasa-jasa cuci baju, dengan Binatu sebagai istilah yang mungkin terkesan jadul, cocok aja dengan analog yang juga sering dikaitkan dengan periode lampau.

Di zaman serba digital ini, apa membuka bisnis di bidang analog menguntungkan secara finansial?

Biar bagaimanapun, pasar analog tidak akan pernah mati, soal bagaimana akhirnya para penggiatnya, baik dalam konteks pengguna atau penyedia jasa, yang perlu menjaga ekosistem ini biar tetap segar.

Selain finansial dan tentunya karena suka, apa ada tujuan lain dari pendirian Binatu Cahaya Mandiri?

Membuka akses, itu aja sih.

Customernya dari mana saja?

Macem-macem, ada yang mahasiswa, penyedia jasa rekam nikahan, atau yang iseng ngerekam keluarga liburan juga ada.

Ada pengalaman menarik mengenai customer?

Karena memang teknologi analog sudah jauh tergeser posisinya dengan digital, banyak orang yang benar-benar awam dengan ini, jadinya pertanyaannya kadang-kadang terlalu umum, tapi yah nanti juga lama-lama akan terbiasa. Ada juga yang karena namanya Binatu, dikira supplier peralatan laundry.

Dibanding digital, apa saja kelebihan analog?

Mungkin bukan soal yang mana yang lebih baik, tapi akhirnya pengalamannya pasti berbeda, dan tinggal memilih lebih nyaman dengan yang mana.

Aditya H. Martodihardjo

IFI Bandung, 04 Juli 2018

Bagaimana awalnya bisa terlibat dengan Lab Laba-laba?

Awalnya ikut band Napolleon main di salah satu pameran LLL, di situ ketemu dengan Anggun Priambodo, salah satu mentor saya waktu magang di Majalah Cobra, dari situ dikenalin dan diajak untuk berkegiatan bareng, dan ternyata cocok.

Bisa diceritakan pengalaman waktu residensi di Paris?

Waktu itu ngewakilin LLL untuk menghadiri Artist-run Lab meeting, kegiatan ini dihadiri 160an orang dari banyak negara, tujuannya sih biar jejaring dan “kesegaran” ekosistem analog tadi bisa terus kita perpanjang umurnya.

Apa yang sampai menjadi pengalaman atau pandangan berharga sejak residensi di Paris waktu itu?

Selain meeting saya juga residensi di Grenoble, MTK nama labnya. Dari dua kegiatan itu yang pasti saya belajar banyak soal teknis dan bagaimana menjalankan sebuah lab, tapi yang pasti energi besar dari orang-orang itu bikin saya jadi lebih besar rasa ingin tahunya dengan apa yang sebenernya membuat seluloid menarik.

Pernah bosan jadi tukang cuci seluloid?

Yah sama aja kayak semua profesi yang lain, pasti ada titik bosan.

Apa yang dirasakan setiap kali mencuci?

Yang pasti gelap sih.

Bagaimana cara Mas Adit ikut mempopulerkan analog sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat awam, tidak hanya kepada penggiat film maupun foto analog?

Wah susah yah, saya juga masih nyari tau ampe sekarang bagaimana caranya, tapi mungkin paling jauh yang bisa saya lakukan, ya itu tadi, buka akses, fasilitasi orang-orang yang mau belajar dengan bikin lokakarya, diskusi, pemutaran dan semacamnya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Copy of Myself • b-o-r-i-n-g (@of.acopy) on

The Zone of Interest The Zone of Interest

The Zone of Interest: Penjelasan, Pesan, dan Kisah Nyata di Balik Film

Film

The Outfit The Outfit

The Outfit Review: Drama Gangster Klasik Berlokasi di Satu Tempat Penuh Misteri

Film

The Taste of Things The Taste of Things

The Taste of Things: Kuliner Prancis & Period Drama Romantis

Film

King Richard Review King Richard Review

10 Film Biopik Inspiratif & Memotivasi

Cultura Lists

Connect