Connect with us
pemutih kulit
Photo by Bennie Lukas Bester from Pexels

Lifestyle

Haruskah Kita Berhenti Memutihkan Kulit?

Asia Pasifik adalah pasar terbesar produk pemutih kulit. Namun ada dampak lebih besar dari sekadar nilai ekonomi.

Pasar Asia Pasifik adalah pasar yang sangat sukses untuk produk pemutih. Berdasarkan estimasi, perputaran uang mengenai belanja produk pemutih mencapai 7,5 milyar dolar dengan jumlah total di seluruh dunia mencapai 13,3 milyar dolar. Angka ini didominasi oleh China (40%), Jepang (21%), dan Korea (18%). Diperkirakan angka ini akan mengalami peningkatan. Artinya orang akan semakin banyak membelanjakan uangnya untuk memutihkan kulit.

Mengapa demikian? Sebab kulit putih dianggap cantik. Meski dunia ini tercipta atas beragam warna kulit, warna putih dianggap yang paling baik. Padahal ada batasan dari kulit untuk dicerahkan. Kulit yang pada dasarnya berwarna gelap tidak dapat dibuat secerah kulit ras kaukasia. Tapi dengan perkembangan zaman dan teknologi nampaknya menjadikan kulit putih semakin mudah. Baik dengan cara aman maupun tak aman.

memutihkan penis di thailand

Trend memutihkan kelamin di Thailand

Tahun 2018 lalu, perusahaan kosmetik Jepang bernama Kanebo harus membayar ganti rugi terhadap 44 perempuan karena menggunakan produknya. Hampir 20.000 orang melaporkan dampak negatif dari penggunaan kosmetik Kanebo yaitu muncul bercak putih dan lainnya. Tak hanya di Jepang, produk-produk yang digadang dapat memutihkan kulit tetapi mengandung bahan berbahaya telah menjadi masalah di berbagai negara. Tren yang lebih mencengangkan lagi adalah tak hanya wajah saja yang diputihkan tapi juga kelamin. Di Thailand tren memutihkan penis meningkat pesat.

Jepang menggunakan istilah Bihaku untuk menggambarkan bahwa kulit putih itu cantik. Jepang yang cenderung homogen memandang perbedaan sebagai hal yang tidak seharusnya terjadi. Itulah mengapa orang-orang dari Okinawa yang cenderung berkulit lebih gelap dari penduduk Jepang di daerah lain dianggap berbeda. Kulit putih dianggap sebagai simbol awet muda. Menjaga kulit tetap putih dengan menghindari sinar matahari dianggap sebagai cara memertahankan kecantikan.

Sebenarnya ada beberapa bukti bahwa usaha memutihkan kulit—atau memertahankan kulit yang putih—merupakan pengaruh barat. Terdapat sejarah panjang mengenai bagaimana perempuan dan lelaki Jepang mulai mengubah gaya berpakaiannya menjadi kebarat-baratan. Begitu pula dengan style karakter manga yang digambarkan berkulit terang dan rambut berwarna bukan hitam dituding sebagai pengaruh dari komik barat. Namun orang Jepang menolak tudingan itu dan menganggap warna kulit putih pada dasarnya lebih aestetik. (Baca Juga: Hafu, Rasisme dan Standar Ganda di Jepang)

Ganguro di Jepang

Ganguro di Jepang (Photo: Chalky Lives)

Tentunya ada golongan muda di Jepang yang menolak pandangan mengenai Bihaku. Mereka berusaha menggelapkan kulit maupun memakai makeup yang membuat kulit menjadi lebih gelap. Istilahnya Ganguro. Walaupun demikian pandangan kulit putih sebagai simbol kecantikan lebih populer dibanding tren kulit tan.

Tren kulit putih sebagai simbol kecantikan tak hanya terjadi di Jepang tapi juga berbagai penjuru dunia. Terutama negara-negara bekas jajahan barat. Begitu pula dengan Indonesia. Salah satu kasus yang menghebohkan adalah ketika MAC Cosmetic memposting foto bertajuk “Papua Inspired Look” dengan menggunakan model yang berkulit terang. Foto itu mendapat kecaman dari netizen hingga dihapus.

Sayangnya persepsi putih sebagai simbol kecantikan masih dapat dengan mudah kita dapatkan di media sosial. Banyak figur publik yang mengiklankan produk suntik putih secara terang-terangan. Bahkan tak jarang para figur publik ini memposting foto ataupun video ketika mereka melakukan suntik putih. Iklan tersebut selalu diiming-imingi pernyataan kalau suntik putih aman dan dapat membuat kita menjadi lebih percaya diri.

berbagai warna kulit

Di Filipina, perempuan yang berkulit gelap dipanggil dengan sebutan Negra. Negra adalah plesetan dari kata negro. Anak perempuan yang berkulit gelap mendapat ejekan dari teman-temannya karena kurang putih. Hal serupa pun terjadi di negara lain. Sebut saja China, India, Korea, Tanzania, hingga Nigeria. Orang China memiliki pepatah ‘yī bái zhē bǎi chǒu yang artinya kurang lebih “kulit putih cukup kuat untuk menutupi tujuh kegagalan”. Baik di India maupun di China kulit putih dianggap melambangkan status dan kelas sosial. Kulit putih tak hanya simbol kecantikan tapi juga kemakmuran.

Di Tanzania, banyak usaha memutihkan kulit menjadi bencana. Tren kulit putih yang meningkat kurang lebih 40 tahun terakhir mendorong orang-orang mengambil jalan pintas menggunakan bahan berbahaya. Mereka menggunakan detergen, pasta gigi, atau pemutih pakaian untuk mencerahkan kulit. Produk-produk ini dapat meningkatkan risiko kesehatan seperti kerusakan kulit hingga kanker kulit.

Belum lama ini Korea dihebohkan dengan para fans yang sengaja mengedit foto idol mereka hingga tampak sangat putih. Mereka memuji idola mereka yang dianggap berkulit seperti susu (milk skin). Padahal tak semua artis Korea benar-benar berkulit seputih itu. Banyak pula fotonya yang diedit oleh penggemar lalu disebarkan di media sosial sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Publik mengira itulah warna asli kulit sang artis.

Hal serupa juga terjadi di China. Aplikasi editing foto Meitu dianggap sangat populer untuk mengubah tampilan seseorang di foto sehingga terlihat berkulit lebih terang. Aplikasi ini digunakan 350 juta orang perbulan. Selain itu prosedur memutikan kulit juga menjadi salah satu yang terfavorit di klinik kecantikan. Contohnya adalah laser pemutih kulit Sisram Medical. Produsennya berasal dari Israel. Disebutkan bahwa penjualannya dalam setengah tahun meningkat hingga 28 persen.

Warna kulit pun menciptakan bias

Sebenarnya tak hanya mencerahkan kulit melalui aplikasi editing foto saja. Sebagian idola itu diketahui atau diduga memutihkan kulit mereka. Kita dapat membandingkannya dengan poster-poster drama maupun film Korea di masa lampau. Dulu, artis-artis Korea yang berseliweran di televisi memiliki range warna kulit yang lebih beragam. Tak semua seputih susu seperti sekarang. Tak banyak yang masih menjaga kulit mereka dengan warna yang alami. Contoh idol yang tetap bangga dengan warna kulit alaminya adalah Hwasa Mamamoo.

Persepsi bahwa kulit putih menjadikan seseorang cantik tidak hanya berbahaya bagi hubungan sosial seseorang. Warna kulit pun menciptakan bias. Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa perempuan kulit hitam yang tone-nya agak terang mendapat hukuman penjara lebih ringan dibandingkan dengan tone lebih gelap. Penelitian ini dilakukan berdasarkan 12.000 terdakwa di Carolina Utara.

Penelitian lain menyebutkan orang kulit putih beranggapan ras kulit hitam atau hispanik yang tone-nya lebih terang dianggap lebih pintar. Sayangnya penelitian ini juga berbanding lurus dengan motivasi banyak dari kelompok kulit hitam Afrika maupun Amerika untuk mencerahkan kulit. Mereka melakukannya agar lebih disukai. Kulit terang dianggap lebih atraktif.

Whitewashing di Hollywood

Tak hanya pandangan kulit putih sebagai simbol kecantikan, ras kulit putih pun dianggap memiliki kedudukan lebih baik. Hal ini salah satunya tercermin dari isu whitewashing di Hollywood. Aktor maupun aktris kulit putih memerankan karakter yang bukan berkulit putih. Misalnya Tilda Swinton dalam Dr. Strange yang memerankan karakter seorang pria Asia. Begitu juga dengan Scarlett Johansson dalam Ghost in The Shell.

Namun isu ini nyatanya tak memengaruhi penjualan film-film tersebut di kawasan Asia. Penduduk Asia yang masih termakan ideologi bahwa kulit putih adalah kulit superior tak menjadikan whitewashing sebagai masalah. Mereka tak peduli bila mereka tak direpresentasikan di layar lebar. Masalahnya adalah para aktor maupun aktris dari ras tersebut yang seharusnya memerankan karakter itu menjadi kehilangan kesempatan.

Bila ditilik lebih dalam, memutihkan kulit tak dapat dipandang sebagai persoalan dangkal. Dengan berusaha memutihkan kulit, sama saja dengan menganggap bahwa warna kulit yang bukan putih itu buruk. Kulit putih dianggap lebih superior sedangkan kulit berwarna dianggap lebih rendah. Ini melanggengkan ketidaksetaraan. Kita sama saja tengah menyuburkan budaya rasisme.

Tren turun temurun dalam memutihkan kulit atau menganggap yang berkulit putih lebih cantik juga merupakan warisan era kolonial. Dahulu para penjajah yang berasal dari ras kaukasia dianggap lebih tinggi kedudukannya. Kulith putih dianggap mencerminkan hal itu. Bila kita tetap memelihara pandangan bahwa kulit putih adalah simbol kecantikan, sama saja kita membiarkan pola pikir penjajah tetap bertahan. Kita telah membenarkan posisi kita sebagai makhluk yang lebih rendah hanya karena warna kulit yang berbeda.

Tak seharusnya kita menghabiskan uang untuk berbelanja produk pemutih. Memutihkan kulit mungkin memang menguntukan kita dalam kehidupan sosial. Namun mengubah persepsi tersebut jauh lebih penting. Banyak juga orang yang mempunyai selera pasangan idamanan dengan warna kulit tertentu, tapi tiap orang juga punya selera yang berbeda. Bila kita dapat menerima apapun warna kulit kita, maka kita telah selangkah lebih maju meninggalkan warisan zaman penjajahan. Kita harus berdaya dengan warna kulit yang kita punya. Warna kulit tak seharusnya mematikan langkah kita atau membuat kita merasa tidak percaya diri.

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Luigi's Hot Pizza Luigi's Hot Pizza

Luigi’s Hot Pizza: Pizza Rave Pertama di Bali

Lifestyle

Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase

Memorable Stay Experience at The Apurva Kempinski Bali

Culture

byrd house bali byrd house bali

Byrd House Bali: Pengalaman Kuliner Sempurna Berpadu Dengan Suasana Eksotis

Lifestyle

Connect