Connect with us
gender bender
Photo via The Japan Times

Culture

Gender Bender: Tak Sekadar Konsep Dorama dan Manga

Gender bender merupakan bagian dari mendobrak kultur.

Kita mengenal beragam genre dari dorama maupun manga. Salah satunya adalah Gender bender. Konsepnya adalah lelaki atau perempuan yang berpakaian atau berperilaku tidak seperti gendernya.

Gender bender merupakan bagian dari mendobrak kultur. Namun pemaknaan gender bender tidaklah sesederhana itu. Gender bender tidak hanya milik pop culture saja. Ini adalah sebuah sejarah dan budaya di Jepang. Konsep yang telah dikenal sejak ratusan tahun lalu dan tak hanya menyangkut dunia hiburan semata.

Gender bender juga meliputi tentang cinta dan pencarian jati diri anak muda di Jepang. Bagaimana konsep ini telah hidup sedemikian rupa di tengah masyarakat?

Sejarah

Di masa pra-modern Jepang, ketika samurai dan shogun masih hidup, hubungan sejenis telah dikenal luas. Hal ini bukan karena budaya Jepang mendukung hubungan sejenis melainkan anggapan bahwa ini hanyalah salah satu fase hidup yang kemudian akan pupus ketika si lelaki memasuki usia cukup untuk menikah. Pernikahan dianggap sebagai hal penting—bila tidak disebut keharusan—sebagai salah satu cara untuk memperbanyak keturunan dan meneruskan garis darah.

Tentu saja memiliki keturunan hanya bisa dilakukan melalui pernikahan di antara pasangan heteroseksual. Namun adakalanya sebagian lelaki yang telah beristri ini tetap memiliki hubungan khusus dengan beberapa lelaki muda lainnya.

Sejak awal mula, identitas seksual dan gender di Jepang berada di garis abu-abu. Hubungan sesama jenis memang tidak ilegal tetapi menjadi sebuah rahasia umum. Sebaliknya hubungan dengan lawan jenis merupakan salah satu bentuk norma yang harus dilakoni baik demi alasan keturunan atau politik. Pakaian pun demikian. Meski muncul kritik terhadap penggunaan atribut gender perempuan oleh lelaki maupun sebaliknya, sejarah menunjukkan hal tersebut telah berlangsung sejak lama.

Salah satu contohnya adalah Takarazuka Revue, sebuah teater di Jepang yang berdiri sejak 1913 di mana semua pemainnya adalah perempuan. Meski tokoh di atas panggung teater tentu saja lelaki dan perempuan, semua tokoh lelaki dimainkan oleh perempuan.

Gadis-gadis Moga Jepang pada tahun 1920-an

Gadis-gadis Moga Jepang pada tahun 1920-an

Begitu pula dengan kehadiran Moga, sebutan lain dari perempuan modern Jepang yang mengadopsi gaya berpakaian Barat yaitu gaya yang sporty, memakai celana panjang seperti lelaki, dan berambut pendek.

Kehadiran kaum Moga justru mendapat kecaman karena penampilan maskulin mereka dianggap tidak sesuai dengan konstruk sosial masyarakat mengenai gender. Walau demikian tren itu tetap berjalan karena perempuan merasa bebas untuk berpakaian sesuai dengan keinginannya. Kenekatan kaum perempuan masa itu sedikit banyak dipengaruhi oleh ketidakberdayaan mereka dalam kehidupan sosial.

Perempuan tidaklah memiliki peran apapun kecuali hanya sebagai istri yang baik dan ibu yang bijak (“ryōsai kenbō“). Kaum adam juga mengadopsi gaya Barat dengan memakai bedak wajah, berpenampilan necis, dan wangi. Mereka dianggap kurang maskulin dan “tidak bergaya Jepang”.

Nilai-nilai Barat yang mulai masuk ke Jepang tidak hanya memengaruhi cara kedua gender berpakaian tapi juga mengubah pandangan mengenai seksualitas itu sendiri. Hubungan sesama jenis dianggap pelanggaran kodrat dan perilaku sodomi sempat dianggap perbuatan melawan hukum. Meski kini LGBT tidak dikenakan hukuman di Jepang, mereka juga tidak dapat mengajukan pernikahan yang dicatat negara.

Pada perayaan Valentine 2019 lalu, belasan pasangan LGBT menuntut negara untuk melegalkan pernikahan sesama jenis. Konstitusi Jepang menolak dan menyatakan pernikahan hanya dapat dilangsungkan oleh dua orang yang berjenis kelamin beda. Namun berdasarkan survei penduduk Jepang usia 20 hingga 50 tahun sebanyak 78% mengaku setuju dengan adanya pernikahan sesama jenis.

Menjadi Perempuan dalam Satu Malam

Di tahun 1950-an, komunitas cross dressing telah berkembang di Tokyo. Komunitas rahasia ini disebut Fuki Club. Mereka terletak di sebuah apartemen—yang juga rahasia—dan menyediakan tempat aman untuk para anggota menyimpan pakaian dan aksesoris mereka. Mereka umumnya adalah lelaki yang berpakaian perempuan.

Di barat, konsep yang mirip dengan Fuki Club adalah drag bar. Namun komunitas cross dressing ini berbeda. Mereka berpakaian perempuan bukan karena menjadi transgender atau merupakan bagian dari komunitas LGBT. Para anggotanya memakai baju perempuan murni sebagai salah satu cara melepas stres. Kini, salah satu tempat yang menyediakan layanan ini adalah Onnanoko Club.

Para klien yang umumnya lelaki memiliki kebebasan untuk bersantai dan menunjukkan sisi feminin mereka. Onannoko Club tidak hanya menyediakan tempat untuk melakukannya tetapi juga menyediakan sarana yang mengakomodasi kebutuhan para klien seperti dress, wig, make up, dan skincare.

Cross dressing dianggap dapat mendorong empati kaum adam terhadap kaum hawa sehingga menimbulkan pengertian mengenai kesulitan sehari-hari yang dialami perempuan. Contohnya adalah make up yang membuat wajah terasa berat atau high heels yang membuat kaki pegal. Selain itu didapati bahwa lelaki yang telah setidaknya mencoba melakukan cross dressing menjadi lebih dapat menerima kaum transgender.

Meski demikian, tak perlu menunggu waktu pulang kantor atau malam hari tiba untuk melakukan cross dressing. Tak semua lelaki merasa harus bersikap tertutup terhadap kecondongan mereka untuk bersikap dan berperilaku feminin. Sejak 2016 telah tumbuh tren baru yang menunjukkan cross dressing lebih diterima oleh masyarakat dan dapat dipakai sehari-hari sebagai salah satu cara mengekspresikan diri. Tren ini disebut sebagai genderless kei.

Genderless Kei/Photo via CNN

Genderless Kei/Photo via CNN

Menemukan Jati Diri melalui Genderless Kei

Bila gender bender adalah konsep dimana lelaki dan perempuan tak sesuai dengan gendernya dan cross dressing adalah ketika mereka memakai pakaian untuk gender lain, maka genderless kei adalah konsep yang lebih fenomenal lagi. Genderless kei atau jendaresu-kei merupakan tren fashion di mana seseorang tidak mau memandang dirinya lelaki atau perempuan. Ia bukan merupakan bagian dari salah satu gender sehingga style fashionnya hanyalah bagaimana ia memandang diri.

Genderless kei bisa dibilang merupakan suatu penemuan jati diri. Meski gender bender maupun cross dressing sendiri telah memikili akar yang panjang di Jepang, bukan berarti genderless kei mudah diterima masyarakat. Pada awalnya pun ada penolakan-penolakan karena pada umumnya para penganut genderless kei adalah lelaki yang berpenampilan imut-imut.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by こんどうようぢ (@kondoyohdi) on

Beberapa ciri khas mencolok dari penganut genderless kei adalah lelaki yang memiliki tubuh skinny, memiliki wajah imut, mewarnai rambut, memakai make up, lensa kontak yang berwarna, berpakaian warna mencolok, dan aksesoris yang umumnya dipakai perempuan. Salah satu selebriti genderless kei yang terkenal adalah Yohdi Kondo.

Selebriti genderless kei lain yang terkenal adalah Toman. Di blog pribadinya, ia sempat mendapat kritikan tampil terlalu feminin. Namun Toman menolak sebutan tersebut. Baginya, penampilannya adalah ekspresi diri, sebuah cara untuk menjadi diri sendiri. Bukan karena ia senang tampil feminin atau salah satu usahanya mengikuti tren genderless kei.

Di sisi lain, para selebriti genderless kei ini juga menangguk untung. Mereka mendapat sorotan media dan memiliki fans baik dari kalangan lelaki maupun perempuan yang menganggap mereka sebagai role model di dunia fashion. Bahkan ada toko-toko yang khusus dibuka untuk menyediakan pakaian bagi genderless kei.

Pride month Pride month

Motif Ekonomi di Balik Perayaan Pride Month

Culture

Alextbh Laneway Festival Singapore 2018 Alextbh Laneway Festival Singapore 2018

Musisi LGBT Asia: Seni Sebagai Ekspresi Diri

Music

Connect