Connect with us
film indonesia
Photo by Lê Minh from Pexels

Culture

Film Nasional, Produk Seni atau Bisnis?

Tak ada teori baku yang mampu menjawab film bagus atau tidak.

Kolesof mengategorikan film sebagai produk seni kedelapan. Meski merupakan sebuah karya seni, tak dapat dipungkiri bahwa film juga merupakan produk bisnis. Namun film tak sekadar komoditi belaka seperti kata sutradara Teguh Karya. Kita tak dapat menganggap bagus tidaknya sebuah film hanya dari jumlah lembaran tiket bioskop yang terjual. Film haruslah mencerahkan publik dan meningkatkan peradaban karena itulah cara agar dunia perfilman kita tetap berjalan.

Ketika para sineas melupakan keseimbangan ini, dunia perfilman kita sempat mati suri. Tahun 80-an hingga 90-an banyak film esek-esek dan komedi picisan naik ke layar. Para penonton yang jenuh pun berhenti mendukung film lokal. Namun gairah yang sempat padam itu akhirnya dipompa kembali oleh deretan sineas muda dengan karya yang patut diacungi jempol. Sebut saja ketika Riri Riza, Rizal Mantovani, Nan T. Achnas, dan Mira Lesmana membuat Kuldesak. Begitu pula duet maut Riri Riza dan Mira Lesmana melahirkan film musikal Sherina yang laris manis dan dikenal publik hingga dekade berikutnya.

Kesuksesan dua film tersebut menjadi lokomotif yang menarik gerbong berisi film-film berkualitas lainnya. Daun di Atas Bantal (1998), Ada Apa dengan Cinta (2004), Nagabonar Jadi 2 (2007), Laskar Pelangi (2008), Sang Penari (2011), hingga Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) menunjukkan perkembangan pesat industri film kita. Genre-nya lebih beragam begitu pula sisi seni yang sejalan dengan kesuksesannya dari segi penjualan. Jumlah tiket yang disebur pun terbilang fantastis. Habibie dan Ainun mencapai 4,8 juta penonton. Dilan 1990 mencapai 6,3 juta penonton. Film yang sempat hampir diboikot, Dua Garis Biru, mencapai 2,5 juta penonton.

Meski tiket yang terjual masih kalah dengan film luar yang sukses secara global seperti Fast and Furious 8 serta Avengers: Endgame yang mencapai 8 juta penonton, ini tetap patut diapresiasi. Angka ini pun tentunya akan menarik perhatian investor dan makin percaya bahwa film lokal digdaya. Selain itu ketika melihat FFI 2019 kita juga menyadari bahwa perfilman dalam negeri telah semakin ketat dan kompetitif. Mulai dari film sejarah, adaptasi novel laris, hingga superhero semua ada.

Namun ketika membicarakan ukuran sebuah film bagus atau tidaknya, tentu tak ada teori baku yang mampu menjawab hal ini. Quentin Tarantino dalam Pulp Fiction atau melakukan antitesis pada struktur film atau Deadpool yang melakukan antitesis pada format film. Ini menunjukkan bahwa sebuah karya film dalam melahirkan teori baru atau justru merombak teori yang telah ada sebelumnya. Poinnya adalah film sebagai karya seni harus mampu berkomunikasi dengan penontonnya sehingga sang penonton menerima pesan yang disampaikan.

Film yang memiliki seni tinggi akan terasa percuma ketika ia membuat penontonnya bosan. Ini artinya pesan dalam film tersebut gagal diterima. Film haruslah mampu memberikan pesan yang tak hanya mencerahkan tetapi juga diolah secara kreatif dan dinamis. Sineas tak boleh ego dan hanya menciptakan karya seni tanpa memikirkan bagaimana perasaan penonton ketika menontonnya. Tak sekadar ide cerita saja tetapi cara menceritakannya itu sendiri haruslah mampu masuk ke dalam benak penonton.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect