Connect with us
Film dengan Efek Visual yang Buruk
Cats (2019)

Film

Film Dengan Efek Visual Yang Buruk

Beberapa film tetap sukses dengan efek visual seadanya meski ada juga yang gagal.

Pada penyelenggaraan Oscar minggu lalu, Rebel Wilson dan James Corden tampil untuk membacakan nominasi kategori efek visual terbaik. Saat itu keduanya sama-sama menggunakan kostum kucing dan sempat berkelakar dengan bertingkah laku seperti kucing yang memainkan mikrofon. Lalu sebelum menyerahkan penghargaan pada 1917 sebagai film dengan efek visual terbaik, Wilson dan Corden mengatakan bahwa mereka memahami pentingnya efek yang baik. Sindiran tersebut berkaitan dengan kegagalan film Cats secara global. Cats kehilangan 100 juta dolar. Bahkan sejak pertama kali dirilis trailernya, Cats telah menimbulkan kontroversi di mata publik.

The Visual Effects Society mengkritik candaan dari Wilson dan Corden. Menurut mereka, kegagalan Cats (2019) terletak pada cerita yang jelek. Yves McCrae, salah satu orang yang mengerjakan efek visual Cats, pun menyindir balik keduanya. Cats sebenarnya berupaya untuk meraih kesuksesan seperti dengan memasang nama-nama besar di dunia hiburan untuk bergabung dalam proyeknya. Selain itu mereka menggunakan gabungan dari CGI dan digital fur technology sehingga seluruh tubuh pemain akan terlihat seperti dilapisi bulu kucing. Kita masih akan dapat melihat jelas wajah para aktor dan aktris di balik bulu-bulu tersebut. Penanda kucing hanya terdapat pada bulu, ekor, dan telinga.

Kegagalan Cats berbuntut panjang. Yves mengalami PHK dan studio yang mengerjakan efek visual Cats pun ditutup. The Visual Effects Society menegaskan bahwa seniman, teknisi, dan inovator di balik efek visual di industri perfilman patut mendapatkan apresiasi. Oscar dianggap sudah seharusnya menghargai kerja keras orang-orang yang telah berusaha menampilkan efek visual terbaik. Apalagi Yves mengatakan ia telah bekerja 80 jam seminggu demi menjadikan Cats nyata. Di balik saling tuding mengenai kegagalan film Cats, sebenarnya ini bukan pertama kalinya kontroversi mengenai efek visual suatu film muncul. Ada banyak film-film lain yang juga mengalami hal serupa.

Salah satunya adalah The Mummy Returns (2001). Saat itu film yang dibintangi oleh Brendan Fraser dan Rachel Weisz sebagai pemeran utama menjadikan The Rock sebagai tokoh antagonis alias Scorpion King. Di sinilah kritik keras muncul. Efek visual yang ditampilkan pada Scorpion King sangat buruk sehingga tampak menggelikan. Begitu pula dengan Harry Potter and the Sorcere’s Stone (2001) terutama ketika scene perkelahian tiga sekawan Harry, Ron, dan Hermione dengan seekor troll di kamar mandi. Meski demikian Harry Potter tetap disukai para penggemar karena dianggap menyajikan jalan cerita yang berbeda.

Nampaknya beberapa film dengan efek visual yang cukup buruk tetap mendapatkan kesuksesan karena jalan cerita yang menarik ditambah fanbase yang kuat. Misalnya pada film Star Wars Special Edition (1997) dan The Matrix Reloaded (2003). Atau sebagai contoh lain kita bisa melihat bagaimana gambaran Renesmee, bayi setengah manusia setengah vampir dari pasangan Edward Cullen dan Bella Swan dalam The Twilight Saga: Breaking Dawn-Part 2 (2012). Wajah Renesmee yang dalam novelnya disebut sebagai wajah yang sangat cantik justru tak tampak seperti demikian.

Sayangnya, efek visual yang buruk ini tak selalu karena film-film tersebut muncul di masa yang terlalu cepat. Beberapa film malah muncul dengan efek visual yang buruk justru ketika teknologi telah semakin maju dibandingkan film pendahulunya. Contohnya The Hobbit: Battle of The Five Armies (2014) yang justru kalah jauh dibanding The Lord of The Rings (2001-2003). Perfilman Indonesia pun belum cukup mumpuni untuk menciptakan efek visual yang oke. Selain teknologi yang belum menunjang, industri perfilman kita masih kesulitan untuk mendapatkan dana skala besar.

Salah satu film yang membutuhkan efek visual misalnya adalah Tenggelamnya Kapal van der Wijck (2013) yang sempat dituding mirip dengan The Great Gatsby (2013). Sayangnya Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak didukung efek visual yang cukup mumpuni. Begitu pula bila kita menonton Foxtrot Six (2019) yang sebenarnya memiliki ide cerita menarik. Lagi-lagi eksekusinya kurang berhasil. Efek visualnya terasa kasar dan palsu. Apalagi ketika salah satu pemain berada dalam kostum robot ala Ironman. Efeknya terasa sedikit cringey.

Memang benar tak adil rasanya bila kita hanya menuding satu aspek saja sebagai alasan kegagalan sebuah film. Namun tak dapat dipungkiri, efek visual terutama dalam film-film yang imajinatif akan memiliki porsi yang penting dan utama. Film seperti Cats, Foxtrot Six, hingga The Hobbit memang membutuhkan efek visual yang kuat dan benar-benar bagus agar ceritanya sendiri dapat benar-benar diterima dan dinikmati penonton. Akan sangat baik lagi bila teknologi efek visual dalam industri perfilman dapat lebih meningkat sehingga kita bisa menonton lebih banyak film bagus yang imajinatif.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect