Connect with us
katy perry cultural appropriation
Katy Perry menggunakan kostum ala geisha | Getty Images

Culture

Cultural Appropriation: Dari Hollywood Sampai K-pop

Cultural appropriation dianggap hanya bikinan SJW belaka. Bagaimana faktanya?

Beberapa waktu lalu, Kim Kardashian menyatakan ia akan segera meluncurkan brand shapewear miliknya. Shapewear adalah pakaian dalam perempuan yang tujuannya adalah menonjolkan bentuk tubuh penggunanya. Kim menyebut nama brand dari shapewear tersebut adalah Kimono. Bisa ditebak, nama brandnya langsung memicu perdebatan publik. Hampir semua setuju nama tersebut tidak pantas digunakan. Walikota Kyoto bereaksi dengan menegur Kim. Tak sampai situ, Menteri Perdagangan Jepang sampai menghubungi Kantor Paten dan Merek Dagang Amerika agar nama brand tersebut tidak dipatenkan.

View this post on Instagram

Finally I can share with you guys this project that I have been developing for the last year. I’ve been passionate about this for 15 years. Kimono is my take on shapewear and solutions for women that actually work. I would always cut up my shapewear to make my own styles, and there have also been so many times I couldn’t find a shapeware color that blended with my skin tone so we needed a solution for all of this. The third pic is the solution short. I developed this style for all of those times I wanted to wear a dress or skirt with a slit and still needed the support. Introducing Kimono Solutionwear™ for every body. Coming Soon in sizes XXS – 4XL in 9 shades. I can’t wait for you to feel this fabric!#KimonoBody @kimono Photos by Vanessa Beecroft

A post shared by Kim Kardashian West (@kimkardashian) on

Gelombang protes di internet memunculkan tagar #KimOhNo. Setelah menimbulkan kegaduhan luar biasa di internet, termasuk menghapus komentar negatif di halaman media sosial brand shapewear-nya, Kim mengumumkan penggantian nama brand. Namun ia tak menyebutkan permintaan maaf sama sekali. Ia hanya mengatakan telah berpikir untuk menggantinya meski belum menemukan nama yang tepat. Setidaknya ini membuat Jepang sedikit lega. Perlu diketahui, isu cultural appropriation tak kali ini saja menimpa klan Kardashian.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga Kardashian Jenner merupakan salah satu kiblat fashion dan kecantikan saat ini. Mereka pula yang turut memopulerkan lip filler maupun operasi plastik pada bagian tubuh lainnya. Sebenarnya, melakukan operasi plastik untuk mempercantik diri sah-sah saja dilakukan. Sayangnya ada masalah di balik tren ini. Yaitu perempuan-perempuan kulit putih yang berusaha membesarkan bibir mereka melalui lip filler agar terlihat lebih seksi. Sementara perempuan-perempuan kulit hitam yang terlahir dengan bibir besar dan penuh justru dicemooh.

Ini berlaku pula pada tren braids (kepang) dan dreadlock. Kim maupun adiknya, Kylie dan Kendal Jenner, beberapa kali tampil dalam tatanan rambut braids dan dreadlock. Begitu pula ketika Khloe Kardashian dengan bangga memamerkan rambut blonde keritingnya yang ala perempuan Afro. Hal ini memantik kemarahan publik. Tidak saja karena mereka terang-terangan bergaya dengan tatanan rambut ala perempuan kulit hitam tetapi juga karena ketidakpekaan mereka.

Sudah sejak lama para perempuan kulit hitam, terutama di Amerika, mengalami diskriminasi karena rambut alami mereka yang keriting. Bahkan beberapa sekolah dan tempat kerja membuat aturan melarang penampilan para perempuan kulit hitam ini dengan rambut alami mereka. Rambut mereka dianggap liar, tidak rapi, buruk, dan berbagai pandangan merendahkan lainnya. Para perempuan ini dipaksa mengikat rambutnya, meluruskan, menutupnya dengan bandana, atau harus kehilangan pekerjaan. California mengumumkan larangan diskriminasi ini yang ditandatangani oleh gubernur pada 3 Juli lalu. Kini para perempuan kulit hitam di California bebas bekerja dengan rambut alami mereka.

Suka tak suka, meski cultural appropriation dianggap hanya karangan SJW belaka, isu ini nyata. SJW merujuk pada social justice warrior yaitu ungkapan peyoratif alias merendahkan pada orang-orang yang memiliki pandangan sosial progresif. Seringkali isu mengenai cultural appropriation dipandang sebelah mata dan dianggap tak menyakiti siapa-siapa. Padahal adanya cultural appropriation ini adalah karena pihak yang dipandang lebih superior tidak memiliki empati dengan menggunakan identitas dari kelompok yang lebih rentan untuk kepentingan pribadi. Kepentingan ini beraneka ragam tujuannya. Mulai dari kesenangan semata hingga keuntungan dalam bentuk uang.

Cultural appropriation tak hanya monopoli keluarga Kardashian saja. Masih banyak selebriti Hollywood lainnya yang melakukan kesalahan sama. Ada yang meminta maaf, ada pula yang tak peduli dan membiarkannya berlalu begitu saja. Contohnya ketika Katy Perry menggunakan kostum ala geisha pada penampilannya di American Music Awards 2013. Kita tak bisa tidak menghubungkannya dengan sejarah ketika Jepang diduduki oleh Amerika karena kekalahannya dalam perang. Begitu pula dengan kehidupan para geisha yang berat dan tak sesederhana penampilan manis Katy di panggung.

Pada kasus cultural appropriation yang dilakukan oleh Selena Gomez dan Iggy Azzalea ketika mereka mengenakan sari maupun pernak-pernik khas perempuan India lainnya, pembelaan muncul. Banyak dari masyarakat India di internet mengaku mereka justru senang karena kebudayaan mereka “dipopulerkan” oleh para selebriti Hollywood. Di satu sisi mungkin ini ada benarnya. Penggunaan simbol kebudayaan India di mainstream media akan memopulerkan India itu sendiri.

Namun kita perlu memikirkan etis tidaknya hal ini. Mengapa harus selebriti Hollywood yang mengenakan sari sehingga kebudayaan India diakui di mata dunia? Mengapa bukan selebriti Bollywood saja? Kita juga perlu mengakui di Indonesia pun masih ada pandangan meremehkan mengenai hal-hal yang berbau India. Ada orang yang merasa malu ketika harus mengakui ia menyukai Bollywood.

Ada kiblat industri hiburan selain Hollywood yang juga akrab dengan tuduhan cultural appropriation yakni K-pop. Sudah berulang kali para idol ini dituding melakukan cultural appropriation dan lagi-lagi sasarannya adalah kelompok kulit hitam. Tak jarang baik idol maupun agensinya tidak meminta maaf. Para fans Kpop sendiri menganggap cultural appropriation bukanlah hal yang nyata dan tak perlu diperhatikan. Selain karena pemujaan terhadap sang idola, sikap tak acuh ini muncul karena secara budaya Korea adalah negara yang sangat homogen. Mereka tak terbiasa dengan perbedaan sehingga tak memiliki cukup pengalaman untuk mempelajari toleransi antar kelompok.

Yesung Super Junior maupun G Dragon Big Bang diketahui pernah mengecat wajahnya menjadi hitam. Tentu saja ini dianggap memerolok warna kulit orang-orang kulit hitam. EXO turut terseret dalam kasus cultural appropriation dalam video klip Wolf. Mamamoo juga pernah melakukan hal yang sama ketika mereka melakukan cover lagu Bruno Mars. Namun Mamamoo meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Beberapa idol lainnya juga diketahui menggunakan gaya rambut dreadlock, menggunakan gestur, maupun intonasi suara yang dimirip-miripkan dengan orang kulit hitam. Jelas saja tingkah laku mereka menuai protes.

Kita juga akan menemukan pengaruh budaya kulit hitam yang kental pada musik Kpop. Coba perhatikan tiap single yang dirilis baik oleh solois atau idol group. Bukankah hampir dipastikan di dalamnya ada bagian rap? Bisa dibilang kemampuan ngerap adalah salah satu hal yang sangat umum ditemukan pada para idol. Pada seluruh idol group hampir selalu ada minimal satu orang yang bertindak sebagai rapper. Tentunya ketika mereka menyanyi rap atau hip-hop, mereka menggunakan gestur tertentu atau berpakaian dengan gaya tertentu. Istilahnya, mereka ingin tampil swag.

Ini karena industri musik Kpop pun dipengaruhi oleh industri musik di barat, terutama Amerika. Mereka melihat bagaimana perkembangan musik rap di Amerika dan terutama bagaimana orang kulit hitam menampilkannya. Para musisi kulit hitam ini tak saja dianggap keren dan dijadikan acuan tetapi bahkan telah melahirkan pakem mengenai bagaimana seharusnya formula sebuah musik K-pop dirilis. Kita bisa saja memandangnya dengan naif sebagai keberhasilan orang kulit hitam untuk menyebarkan kebudayaan mereka ke seluruh dunia. Tapi kita harus menyadari bahwa sikap-sikap cultural appropriation yang pernah dilakukan para idol itu tidak menunjukkan penghargaan mereka terhadap sumber dari kebudayaan yang mereka jadikan acuan.

Uniknya, kepada negara tetangga, Korea Selatan lebih bersikap hati-hati. Kita tidak menemukan kejadian cultural appropriation yang dilakukan oleh idol Kpop berkaitan dengan kebudayaan Jepang atau Cina misalnya. Ini karena mereka adalah pasar bagi Kpop. Dibandingkan dengan belahan dunia lain seperti negara-negara barat atau orang-orang kulit hitam, pasar terbesar Kpop adalah Asia itu sendiri. Agensi-agensi maupun para idol justru lebih memerhatikan mengenai apa saja yang tidak akan menyinggung kebudayaan China atau Jepang. Sebab cultural appropriation sekecil apapun di antara mereka dapat memantik kesalahpahaman atau keributan. Tanpa kasus cultural appropriation saja, Korea maupun Jepang sudah senang saling boikot berkaitan dengan hubungan ekonomi politik mereka.

Kita sebagai para penikmat hiburan ini sudah sepantasnya untuk bersikap hati-hati dan ikut cermat dalam menilai para selebriti itu. Tak seharusnya kita membela mereka secara membabi buta ketika para artis tersebut diketahui melakukan cultural appropriation. Kita perlu menumbuhkan kesadaran sekaligus kepekaan agar tak terulang kasus-kasus serupa di kemudian hari. Sudah sepatutnya kita menghargai kebudayaan lain seperti menghargai kebudayaan kita sendiri.

Bradley Cooper Bradley Cooper

10 Film Bradley Cooper Terbaik dan Terpopuler

Cultura Lists

Yorgos Lanthimos Yorgos Lanthimos

3 Film Yorgos Lanthimos Paling Aneh

Entertainment

Oppenheimer & Maestro Oppenheimer & Maestro

Oppenheimer & Maestro: Film Biopik yang Miliki Banyak Kesamaan

Entertainment

Turning Red Turning Red

Soul, Turning Red, Luca: Mana yang Patut Ditonton di Layar Lebar?

Entertainment

Connect