Connect with us
Sinetron Religi dan Citra Perempuan
Photo by Janko Ferlic from Pexels

Entertainment

Citra Perempuan Dalam Sinetron Religi

Sejak era reformasi, identitas religius semakin mudah diekspresikan. Tapi, bagaimana perempuan ditampilkan dalam sinetron?

Di era pemerintahan Soeharto, tak mudah bagi kita untuk mendapatkan pilihan dalam menonton televisi. TVRI menjadi satu-satunya saluran televisi. Station TV swasta pun bermunculan satu persatu. Tetapi isinya belumlah sebebas saat ini. Ada dua hal yang meningkat kemunculannya sejak orde baru runtuh dan melahirkan reformasi. Yaitu identitas religius kita dan isu perempuan.

Dewi dalam “Media Massa dan Penyebaran Isu Perempuan” (2009) mengatakan dahulu kebijakan Soeharto banyak menempatkan perempuan di sektor domestik. Perempuan tidak digambarkan sebagai makhluk berdaya kecuali sebagai pengurus sumur, kasur, dan dapur. Begitu pula dengan identitas keislaman kita. Tahun 2000 hingga 2005, komodifikasi citra Islam meningkat secara stabil. Kaum muslim juga dapat lebih mengekspresikan identitas keislamannya.

Rakhmani dalam “The Commercialization of Da’wah: Understanding Indonesia Sinetron and Their Potrayal of Islam” (2014) menjelaskannya dengan baik. Ia merunut bagaimana sinetron bertema religi naik daun dimulai ketika sinetron Rahasia Ilahi (2003) menuai kesuksesan. Begitu pula kesuksesan dari Ayat-Ayat Cinta yang membangkitkan tren genre melodrama Islam. Terakhir adalah sinetron religi dengan pendekatan komedi milik Deddy Mizwar, Kiamat Sudah Dekat.

Nurul Islam dalam “Perempuan dalam Media Massa di Indonesia: Analisis Isi Media Massa tentang Sosok Perempuan dalam Paradigma Kritis” (2008) menjelaskan bagaimana perempuan menjadi komoditas dagang dunia hiburan. Setelah Soeharto tumbang dan media massa bebas dari kontrol, perempuan ditampilkan tidak bermoral. Baik ketika si tokoh perempuan berpakaian minim maupun tertutup, citra yang ditampilkan tetap tidak menguntungkan.

Contohnya, ketika model perempuan dalam iklan mobil tampil dengan pakaian minim. Pada sinetron, umumnya tokoh perempuan dianggap sebagai penyebab marabahaya. Pendapat serupa dikemukakan Hakim (2013) dalam “Arus Baru Feminisme Islam Indonesia dalam Film Religi”. Misalnya gambaran istri yang mendorong suami untuk korupsi. Gambaran serupa juga muncul pada sinetron edisi Ramadhan. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang kejam terhadap yatim piatu. Anak perempuan yang kabur dari rumah digambarkan bekerja sebagai pelacur. Kita tidak menemukan gambaran semacam ini pada anak laki-laki yang kabur.

Ada sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tayangan religi di televisi kita yaitu Religiotainment. Istilah ini diangkat oleh Muzakki dalam “Agama, Budaya Pop, dan Kapitalisme” (2003). Ia menyebutkan istilah itu sebagai gambaran tayangan religi yang dikemas dalam bentuk hiburan. Tayangan religi yang kita temukan di televisi bukan digunakan sebagai sebuah medium dakwah atau edukasi agama kepada khalayak. Menurut Ishaq dalam “Dakwah di Tengan Industrialisasi Media” (2013) konten agama yang muncul hanya dibuat demi memenuhi kebutuhan penonton semata.

Penonton sendiri pada umumnya menjadikan media sebagai medium hiburan. Akibatnya konten agama yang muncul diupayakan tetap menarik dan menghibur. Konten agama diciptakan dengan cara mengikuti keinginan pasar. Alhasil, kualitasnya tidak cukup baik. Televisi lebih senang menyajikan acara yang dapat meraih rating maupun share tinggi. Di jam buka puasa maupun sahur, kita akan menemukan acara hiburan (atau konten agama dibalut hiburan) lebih mendominasi. Acara dakwah yang murni berisikan konten agama hanya tampil sedikit saja.

Ishaq pada tulisannya yang lain menyoroti lebih dalam mengenai gambaran perempuan dalam sinetron Ramadan. Pada “Sinema Religi dalam Pusaran Industri Media” (2011) ia menyoroti gambaran perempuan yang timpang. Perempuan yang berjilbab dan berpakaian tertutup digambarkan sebagai sosok religius dan baik. Sementara perempuan yang berpakaian terbuka digambarkan sebagai sosok egois dan hedonis. Kita tentu saja tidak bisa menilai kepribadian seseorang hanya dari pakaiannya. Gambaran tokoh perempuan dalam sinetron yang cenderung tidak realistis dapat memberikan dampak buruk bagi pemahaman masyarakat terhadap citra perempuan.

Sisi positif dari gambaran perempuan berkerudung adalah laris manisnya produk yang dikenakan oleh tokoh dalam sinetron. Kerudung dan atribut keagamaan lain yang kurang mendapat tempat di era Soeharto menjadi lebih bebas ditampilkan di masa kini. Kaum perempuan lebih mudah dalam mengekspresikan dirinya melalui fashion. Kalaupun tujuannya bukan untuk mengikuti fashion tapi sebagai tanda memenuhi perintah Allah, kaum perempuan menjadi leluasa dalam menggunakan atribut keagamaanya. Representasi perempuan berkerudung di televisi kita turut memberikan gambaran ideal bahwa yang bisa tampil di televisi tak hanya yang berbaju terbuka saja.

Sayangnya, tak hanya gambaran fisik perempuan saja yang membuat relasi gender menjadi timpang. Citra perempuan dipengaruhi oleh bagaimana media menempatkan perempuan dalam peran-peran domestik. Meski saat ini sudah banyak perempuan yang digambarkan sebagai wanita karir, gambaran perempuan sebagai ibu rumah tangga masih mendominasi sinetron kita. Perempuan digambarkan memasak, mengurus anak, dan menunggu suami pulang. Perempuan digambarkan memiliki sifat keibuan. Hal yang sama cenderung sedikit digambarkan pada tokoh laki-laki.

Surya (2008) dalam “Citra Perempuan Islam Kontemporer: Representasi Perempuan Islam dalam Sinetron Ramadhan” mengulas tokoh antagonis yang lebih banyak diperankan perempuan. Kalaupun perempuan digambarkan sebagai tokoh protagonis, gambarannya tidak realistis. Perempuan dalam sinetron Ramadan selalu digambarkan tabah, baik hati, dan taat beragama.

Sinetron Religi dan Citra Perempuan

Photo by Rawpixel from Pexels

Padahal gambaran taatnya terasa sangat artifisial seperti berpakaian agamis dengan penggunaan kalimat religius yang berlebihan. Kita tidak akan menemukan tokoh yang nyata seperti itu di dalam realita. Mana ada manusia yang sepenuhnya antagonis atau sepenuhnya protagonis? Manusia tidak bisa dinilai secara hitam dan putih seperti di sinetron. Seseorang yang dipandang baik pun manusiawi sekali bila melakukan kesalahan. Tak mungkin selalu suci.

Namun ada pula beberapa gambaran yang cukup baik. Hal ini diulas oleh Hakim (2013) salah satunya dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2. Perempuan digambarkan pandai, aktif, kreatif, mungkin agak sedikit agresif, dan mandiri. Tokoh perempuan digambarkan berpendidikan yang menyetir mobil (menggambarkan kemandirian) dan mampu bersikap tegas terhadap pasangannya. Film ini masuk dalam genre melodrama Islam.

Sayangnya, gambaran perempuan berdaya dan realistis belum dapat banyak kita temukan. Mungkin kita tak bisa berharap banyak pada siaran televisi. Kitalah yang harus memulainya dengan berhenti mengonsumsi tayangan yang tak mendidik maupun tak masuk akal. Namun memilih tayangan televisi yang ideal masih menjadi barang mewah bagi sebagian orang. Tak semua memiliki akses untuk memiliki TV kabel ataupun Netflix. Masyarakat kita yang berada di golongan menengah ke bawah masih membutuhkan hiburan yang murah. Sudah seharusnya industri hiburan kita juga mengalami reformasi.

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Bradley Cooper Bradley Cooper

10 Film Bradley Cooper Terbaik dan Terpopuler

Cultura Lists

Connect