Connect with us
plastik ramah lingkungan

Lifestyle

Benarkah Klaim Mengenai Plastik Ramah Lingkungan?

Plastik ramah lingkungan sempat dianggap sebagai jalan keluar masalah lingkungan kita.

Plastik mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Sejak itu plastik digunakan hampir untuk segala jenis kebutuhan hidup kita. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 13% sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia adalah sampah plastik. Padahal, plastik sulit terurai. Apalagi dengan kondisi pengelolaan sampah di Indonesia yang masih belum cukup bagus. Banyak dari kita masih membuang sampah sembarangan yang akhirnya membuat lingkungan tercemar. Sampah plastik pun masih sangat sedikit yang didaur ulang.

Menurut World Economic Forum di tahun 2016, sebagian besar plastik hanya digunakan sekali. Tak hanya merusak lingkungan tetapi juga membuang-buang uang. Kita kehilangan uang sekitar 80 hingga 120 juta dolar biaya produksi plastik karena terbuang percuma ke tempat sampah. Diperkirakan 2050 ada lebih banyak plastik dibandingkan ikan yang mengisi lautan kita.

The New Plastics Economy

World Economic Forum & the Ellen MacArthur Foundation 2016

Masalah dianggap selesai ketika para produsen beralih memproduksi plastik ramah lingkungan. Plastik ini dibuat dari tanaman. Namun, pertanyaan selanjutnya muncul. Bila nantinya permintaan pasar terhadap plastik ramah lingkungan tinggi, bukankah ini akan menjadi masalah baru? Ketika sebagian wilayah di dunia masih mengalami masalah kelaparan, kita justru menggunakan tanaman untuk memproduksi plastik.

Pada akhirnya tanaman akan diperebutkan baik sebagai makanan maupun sebagai bahan baku plastik. Belum lagi ketika pembukaan lahan terjadi untuk mendukung kebutuhan produksi plastik. Kita juga harus memikirkan berapa jumlah air yang dibutuhkan. Risiko penggunaan air yang terlalu masif dapat mengakibatkan krisis. Tanah dapat mengalami penurunan dan manusia harus memerebutkan sumber air bersih.

Tak sampai di sini saja masalah baru muncul. Penelitian yang dilakukan Imogen E. Napper dan Richard C. Thompson dari Universitas Plymouth menunjukkan plastik ramah lingkungan tidak benar-benar aman. Imogen adalah seorang peneliti yang salah satu fokus studinya adalah plastik. Ia juga tergabung dalam tim ekspedisi National Geographic. Bersama rekannya, Imogen melakukan penelitian terhadap plastik, biodegradable plastik, oxobiodegradable plastik, dan plastik kompos.

Biodegradable plastik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut plastik yang dapat terurai secara alami. Klaimnya, plastik jenis ini dapat terurai dalam beberapa bulan bahkan beberapa minggu saja. Oxobiodegradable adalah plastik lain yang dapat terurai secara alami di lingkungan karena ditambahkan zat tertentu untuk mempercepat prosesnya. Sementara plastik kompos terbuat dari 100% bahan alami dan dapat mememberikan nutrisi alami kepada tanah.

Penelitian dilakukan selama tiga tahun. Keempat plastik tersebut diperlakukan di berbagai kondisi yaitu udara bebas, dikubur dalam tanah, berada di dalam air laut, dan lingkungan terkontrol. Hasilnya, seluruh jenis plastik yang berada di udara terbuka mengalami kerusakan paling cepat dalam jangka waktu 9 hingga 18 bulan. Ini berbeda dengan klaim yang menyebutkan plastik ramah lingkungan dapat terurai hanya dalam hitungan minggu saja. Penyebabnya adalah sinar ultraviolet dan suhu yang tinggi sehingga plastik cepat mengalami kerusakan. Namun ini artinya sampah plastik akan sulit terurai di daerah yang minim sinar matahari dan memiliki suhu rendah.

Seluruh plastik yang dikuburkan di dalam tanah masih utuh ketika diambil lagi 27 bulan kemudian. Meski kualitas dari plastik itu menurun sebanyak 25 – 69% tetapi kita tak dapat menganggap enteng kondisi ini. Fakta terburuk ditemukan pada plastik yang berada di dalam air laut. Plastik yang berada di dalam air terurai paling lambat. Padahal kita tahu ada banyak sampah plastik di laut.

Hal lain yang patut diwaspadai adalah plastik ramah lingkungan ini, kecuali plastik kompos, dapat pecah menjadi mikroplastik. Plastik ini meski dalam ukuran sangat kecil tetap berbahaya bagi lingkungan. Belum lagi plastik yang telah berubah ukuran menjadi mikro lebih sulit dibersihkan karena ukurannya terlalu kecil. Plastik-plastik tersebut juga bertahan dan masih dapat digunakan meski telah berada di dalam tanah dan di air laut selama lebih dari tiga tahun.

Sudah seharusnya pemerintah maupun produsen plastik ramah lingkungan memiliki acuan yang jelas mengenai proses penguraian sampah plastik. Pemerintah perlu membuat regulasinya dan para produsen mematuhinya. Sia-sia saja melabeli plastik-plastik ini sebagai produk ramah lingkungan bila ternyata mereka tak bisa terurai begitu saja. Mereka hanya bisa terurai dalam suhu maupun kondisi lingkungan tertentu. Padahal sampah plastik ini bisa saja terkubur di dalam tanah atau terbawa air laut dan kemudian mencemari lingkungan.

Para produsen juga harus dapat membuktikan klaim bila produk mereka dapat cepat terurai di alam bebas. Sebagai konsumen, kitapun tak bisa menyederhanakan masalah dengan menggunakan plastik ramah lingkungan karena dianggap tak akan melakukan pencemaran. Jalan keluar terbaik adalah berhenti memakai plastik dan beralih pada produk yang bisa dipakai berulang kali seperti kantung kain atau kotak kardus. Jangan sampai kita terlena dengan klaim ramah lingkungan sehingga membuang-buang plastik dan hanya memakainya satu dua kali saja.

Luigi's Hot Pizza Luigi's Hot Pizza

Luigi’s Hot Pizza: Pizza Rave Pertama di Bali

Lifestyle

Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase

Memorable Stay Experience at The Apurva Kempinski Bali

Culture

byrd house bali byrd house bali

Byrd House Bali: Pengalaman Kuliner Sempurna Berpadu Dengan Suasana Eksotis

Lifestyle

Bali Dynasty Resort Bali Dynasty Resort

Bali Dynasty Resort: Destinasi Populer Bagi Keluarga di Tepi Pantai Kuta Selatan

Lifestyle

Connect